Budiman
Sebagai orang awam yang bukan spesialis dalam ilmu-ilmu keagamaan, kita pun memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pencerahan diri dari kitab suci Al Qur’an. Tentu saja modus yang kita perlukan adalah modus memahami sebagai bahan tadzakkur, mengingatkan diri kita terhadap nasihat-nasihat Qur’ani. Lebih dalam dari itu, upaya mengurai pelik-pelik Al-Qur’an dengan kedalaman maknanya adalah diluar scope keahlian diri kita.
Dalam upaya mencerahkan diri dengan pemahaman terhadap ayat-ayat kitab suci itu setidaknya terjemahan Al Qur’an menemukan relevansi fungsinya, utamanya bagi orang awam seperti kita. Terjemah Al Qur’an yang paling populer, tentu saja adalah Terjemah Al Qur’an dari Departemen Agama.
Salah satu terjemah Al Qur’an dalam bahasa Indonesia yang sudah muncul cukup lama adalah Tafsir Al Furan karya A. Hassan. Tentu saja karena muncul (secara lengkap) di tahun 1950-an (setelah sebelumnya terbit dalam beberapa juz) tafsir ini masih menggunakan langgam bahasa Indonesia lama.
Kalau sekarang kita mengenal istilah Terjemah Al-Qur’an, A. Hassan dan beberapa ulama seangkatannya menamakannya sebagai tafsir. Dari literatur ilmu-ilmu Al-Qur’an kita memahami memang terjemah itu adalah sebentuk tafsir. Karena sifatnya yang ringkas, tidak dapat dihindari dalam terjemah itu sifat selektif dalam memilih makna yang diungkapkan. Seleksi ini tentu saja berdasarkan pendekatan sang penafsir dalam memilih beragam pendapat yang mungkin dikandung dalam makna ayat-ayat itu.
Perbedaan pemilihan makna yang ingin disampaikan oleh penafsir dapat kita pahami dari perbandingan antara terjemah Depag (edisi baru) dengan terjemah dari A. Hassan berikut ini.
Kita dapat melihat beberapa perbedaan di sini. (1) Perbedaan permulaan ayat. Nampaknya A. Hassan mengambil pendapat yang menyatakan basmalah merupakan bagian dari awal setiap surat dalam Al Qur’an (kecuali surat At Taubah), tetapi tidak masuk dalam ayat-ayat-nya. Sehingga, pada surat Al Fatihah ayat satu dimulai dari Alhamdulillah. Ini juga berimplikasi dari mana ayat 6 dan 7 dimulai. (2) Penggunaan titik dan koma guna menandakan sempurnanya sebuah kalimat dalam bahasa Indonesia. Dalam Tafsir Al Furqan menggabungkan makna ayat 1 (dimulai dari Alhamdu), 2, dan 3 menjadi satu kalimat (dalam bahasa Indonesia). (3) Perbedaan makna juga terungkap pada ayat ke 5, 6 dan 7 dengan mengacu pada note yang diberikan dalam masing-masing Terjemah.
Makna petunjuk dalam terjemah A. Hassan mengacu pada konsistensi di dalam petunjuk (“di dalam jalan yang lurus” alih alih “ke jalan yang lurus”). Dalam karyanya yang agak luas terkait dengan tafsir Juz ‘Amma (yang berjudul Al Hidayah) beliau menjelaskan. “Yang tidak dimurkai dan yang tidak sesat itu dua sifat bagi yang diberi ni’mat atasnya. Jadi, arti ayat yang ke 5 sampai ayat ke 7 begini : 5. Pimpinlah kami di jalan yang lurus, 6. (yaitu) di jalan orang-orang yang Engkau telah beri ni’mat atasnya, 7. yang tidak dimurkai atasnya dan yang tidak sesat.” Dengan pilihan penafsiran beliau ini (perhatikan kata yang dalam “yang tidak dimurkai atasnya dan yang tidak sesat” dari kutipan dari buku Al Hidayah di atas). Hal ini berarti mereka yang telah diberikan nikmat iman bisa saja menjadi dimurkai atau menjadi tersesat; dimurkai jika mengerjakan larangan Allah, sesat jika menjalankan agama tanpa keterangan ilmu. Agak berbeda dengan note yang ada dalam terjemah Depag di atas.
Dalam beberapa konteks kita juga dapat terbantu dalam memahami makna ayat yang diterjemahkan oleh Depag dengan membandingkannya dengan terjemahan Al Furqan. Misal makna, “Hati kami tertutup” dalam surat Al Baqarah : 88. Kenapa mereka yang telah diberikan wahyu sebelumnya menyatakan bahwa hati mereka tertutup ? Bukankah wahyu memberikan hidayah, petunjuk, cahaya bagi mereka ? Ternyata ini berhubungan dengan sikap mereka terhadap wahyu Allah kepada Nabi Muhammad, yang mereka tolak dengan alasan kecukupan ilmu mereka.
Edisi Lama dan Edisi Mutakhir
Tahun 2010, Universitas Al Azhar Indonesia menerbitkan edisi baru Tafsir Al Furqan yang disebut Edisi Bahasa Indonesia Mutakhir. Tabel berikut mencoba membandingkan perbedaan edisi asli dengan edisi bahasa Indonesia mutakhir.
Tampak edisi baru Al Furqan lebih dekat dengan terjemah Depag. Pemilihan awal ayat pertama dari surat Al Fatihah berubah. Pada edisi asli, ayat pertama dimulai dari Alhamdulillah, sedangakan edisi mutakhir dimulai dari Bismillah. Makna maaliki dalam ayat Maaliki yaumiddin juga berubah dari Yang mempunyai menjadi Yang Menguasai.
Tentu saja editor edisi mutakhir memiliki pertimbangan tersendiri dalam melakukan penyuntingan. Tetapi hendaknya dalam hal ini perlu dipertimbangkan presentasi pemikiran A. Hassan dalam edisi mutakhir tetap dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan pilihan-pilihan pendapat yang telah beliau pilih maupun yang beliau kuatkan baik secara implisit maupun eksplisit.
A. Hassan terkenal sebagai tokoh yang sangat teguh dan berani dalam mempertanggungjawabkan pikiran maupun pilihan pendapatnya. Ungkapan-ungkapan bahasa yang dipilih oleh beliau tentu kurang lebih juga mewakili pilihan yang dipertanggunngjawabkannya. Apa yang diungkapkan dalam penafsiran atas surat Al Kafirun dapat memberikan ilustrasi tambahan terhadap pilihan pendapat yang beliau lakukan.
Pada terjemah Depag, terjemah ayat 2 dan 3 fokus pada masa sekarang(“tidak akan”) dan ayat 4 dan 5 fokus pada akan datang(“tidak pernah”). Ayat 3 dan 5 yang berbunyi sama dimaknai dengan titik tekan pada waktu. Jika kita membuka terjemah tafsir Jalalain kita akan mendapati makna-makna ini.
Tafsir Al Furqan menerjemahkan ayat 2 dan 3 fokus pada objek sesembahan yang berbeda, sedangkan ayat 4 dan 5 (di mana bunyi ayat 3 dan 5 sama) dimaknai dalam konteks cara penyembahan yang berbeda.
Dalam membaca tafsir Al Furqan ini kita juga perlu bersikap terbuka terhadap perbedaan pendapat yang mungkin muncul. Sang penulis telah menegaskan posisi pilihannya. Kita boleh tidak bersepakat dengan beliau, karena dasar yang kita pahami untuk memilih mungkin berbeda. Walaupun sangat ketat dalam masalah hadis ataupun fiqih, beliau cenderung mengambil pendapat modernis ketika menafsirkan batu-batu yang dibawa burung-burung yang berbondong-bondong, yang menghujani pasukan Abrahah, sebagai batu yang membawa kuman-kuman penyakit cacar. Wallahu A’lam.