Pelukisan (tashwir) adalah sarana utama dalam gaya bahasa Al-Qur’an. Melalu pelukisan ini, makna abstrak, suasana psikologis, peristiwa aktual, pemandangan alam yang disaksikan, tipologi manusial serta tabiat kemanusiaan diekspresikan melalui gambaran indrawi. Lukisan itu kemudian diangkat dan diberikan kepribadian yang hidup, gerak yang kontinyu. Maka menjelmalah makna abstrak pemikiran menjadi bentuk-tubuh dan gerakan, menjelmalah suasana psikologis menjadi adegan, tipologi manusia menjelma menjadi pribadi manusia yang hidup, serta tabiah kemanusiaan seolah terjasad kasat mata…. Alat pelukisan itu hanyalah kata. (At Tashwir Al Fanniy fil Qur’an, hal 36-37)
Sekitar Buku Pelukisan Artistik Dalam Al-Qur’an
Sebelum dikenal sebagai pemikir pergerakan Islam, Sayyid Qutb lebih dahulu dikenal sebagai sastrawan dan kritiku sastra. Salah satu hasil karyanya dalam bidang ini adalah buku At-Tashwir Al-Fanniy fil Qur’an. Karya yang mencoba membabar pelukisan artisik melalui kata dan kalimat di dalam Al-Qur’an, yang menurutnya merupakan salah satu metode yang sangat dominan di dalam Al-Qur’an.
Di Indonesia, pemikiran Sayyid Qutb sudah dikenal sejak lama. Hamka misalnya, menyatakan dalam mukadimah tafsir Al-Azhar-nya menjadikan tafsir Sayyid Qutb sebagai salah satu rujukan dari genre tafsir modern, selain tafsir Al-Manar Rasyid Ridha. Namun, penerjemahan buku-buku Sayyid Qutb secara utuh, mungkin baru muncul setelah era tahun 1970-an, yang memuncak pada era 2000-an dengan penerjemahan secara lengkap magnum opus-nya, tafsir Fi Zhilalil Qur’an.
Terjemahan awal yang dapat kami temui atas buku At-Tashwir Al Fanniy fil Qur’an (Pelukisan Artistik dalam Al Qur’an) muncul sekitar tahun 1981, oleh Dra. Chadijah Nasoetion dengan judul Seni Penggambaran Dalam Al Qur’an. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Nur Cahaya, Yogyakarta.
Era 2000-an, seiring dengan terbukanya kran reformasi di Indonesia, pada tahun 2004 dua penerbit menerbitkan terjemahan buku Sayyid Qutb ini. Robbani Press menerjemahkan dengan judul Keindahan Al Qur’an yang Menakjubkan, dengan tambahan sub-judul Buku Bantu Memahami Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an. Sedangkan Gema Insani Press memberi judul Indahnya Al-Qur’an Berkisah.
Secara judul, terjemahan dari tahun 1981 lebih konsisten dengan judul asli dan secara langsung merepresentasikan tesis yang ingin dikembangkan oleh Sayyid Qutb dibandingkan kedua judul yang terbit kemudian. Walaupun agak lebih tekstual, terjemahan 1981 cukup memudahkan pembaca awam untuk memahami pokok pikiran dalam untaian paragraf maupun bab. Terjemahan Robbani Press, pokok-pokok pikiran umum dapat dipahami, tetapi sebagian detail paragraf agak melompat, sehingga mempengaruhi koherensi. Dibandingkan dua terjemahan lain (Nur Cahaya dan Robbani Press), terjemahan GIP agak lebih inferior; agak sulit bagi pembaca awam menangkap pokok pikiran maupun koherensi ide yang ingin ditampilkan.
Esai di bawah mencoba mengungkapkan konsep Logika Perasaan dan Dialektika Pelukisan-Emotif dalam menumbuhkan akidah di dalam jiwa manusia, menurut pemikiran Sayyid Qutb dalam salah satu bab di dalam bukunya ini. Esai ini mengacu pada ketiga terjemahan di atas, dengan sekali-kali merujuk pada teks arab-nya.
Tujuan Al-Qur’an
Tujuan Al-Qur’an yang utama adalah menumbuhkan akidah agung, tauhid, di dalam jiwa manusia. Akidah tauhid ini adalah akidah yang agung, besar. Walaupun bagi (kita) manusia di alam modern ini tauhid, keesaan Tuhan, monoteisme nampak sebagai sesuatu yang aksiomatik (badihi), tidak demikian bagi masyarakat penerima dakwah awal. Bagi musyrikin Quraisy, akidah tauhid adalah keanehan, demikian juga mengenai akidah hari kebangkitan. Demikian juga dengan masyarakat Ahli Kitab, walaupun dalam pokok agama ada kesamaan dengan Islam, tetapi keyakinan yang dipeluk oleh penganutnya jauh menyimpang dari tauhid murni yang diserukan Al-Qur’an, misal keyakinan trinitas maupun bangsa pilihan.
Tentu saja dalam menjelaskan tauhid ada penentangan, penolakan melalui beragam argumentasi dan debat. Bagaiman Al-Qur’an melayani penentangan, argumen dan debat mereka ? Di sini kita bertemu dengan logika perasaan (mantiq wijdani) sebagai metode berargumen yang digunakan oleh Al-Qur’an.
Logika Perasaan
Dalam jiwa manusia akidah (keyakinan keagamaan) bertempat di dhamir (kesadaran mendasar di dalam jiwa; damir) dan wijdan (perasaan, emosi). Dalam terminologi bahasa Indonesia, mungkin kita bisa menyebutnya di dalam hati-nurani dan hati-sanubari. Secara leksikal, hati-nurani berarti lubuk hati yang paling dalam, sedangkan hati-sanubari berarti perasaan batin. Secara bersama-sama, kita dapat saja menyebutnya sebagai hati, sebagai pusat kesadaran manusia.
Menurut Sayyid Qutb, jalan terdekat menuju hati-nurani, damir adalah intuisi. Sedangkan jalan terdekat menuju, hati-sanubari adalah pencerapan indrawi. Pikiran dalam area jiwa ini hanyalah salah satu saluran, dari banyak saluran yang ada. Pikiran bukan juga merupakan saluran yang terluas, maupun yang paling dekat menuju hati manusia.
Banyak orang yang membesarkan nilai akal-pikiran pada zaman modern ini, karena terpesona terhadap produk-produk pemikiran manusia; penemuan (invensi), industri maupun teknologi. Beberapa kalangan agamawan yang terpesona dengan hal ini, mencoba menyokong agama melalui penggunaan teori-teori ilmiah ini, melalui kaidah-kaidah rasionalitas dan eksperimental.
Bagi Sayyid Qutb, hal ini berarti mengangkat pikiran di atas ufuk-cakrawalanya. Pikiran manusia memilikii objek pengetahuan yang sesuai dengan kapasitasnya. Objek kudus (seperti Tuhan serta hal-hal gaib) tidaklah menjadi objek pengetahuan bagi pikiran, sisi rasionalitas akal manusia. Berhadapan dengan objek-objek kudus, jiwa manusia diundang untuk meluaskan horizon-nya dengan membuka jendela-jendela lain guna meraih pengetahuan. Pengetahuan ilmiah, rasional dan empiris bukanlah kesuluruhan pengetahuan di dalam jiwa manusia. Akal-pikiran manusia hanyalah salah satu saluran jiwa, di antara saluran-saluran jiwa yang lain. Menutup saluran-saluran lain, akan membuat jiwa mengalami kesempitan dan peluruhan kekuatan, sehingga kehilangan kelayakan untuk memberi keputusan bagi persoalan-persoalan besar kehidupan.
Akidah ada di ufuk yang berbeda dengan ilmu pengetahuan. Pencapaian akidah dicapai melalui jalan intuisi, penunjukan oleh ketajaman persepsi (basirah) serta kesediaan membuka hati-nurani bagi pencerahan.
Menurut Sayyid Qutb, Al-Qur’an secara intensional selalu menyentuh intuisi manusia, membangunkan pencerapan-mental-indrawi mereka; guna mencapai persepsi-batin (basirah) secara langsung dan menyampaikannya kepada kesadaran (wijdan, sanubari). Inilah yang oleh Sayyid Qutb dinamakan sebagai logika perasaan (mantiq wijdani, logika hati-sanubari).
Logika disini dimaknai sebagai cara menunjukan bukti, dalil, argumen bagi muatan keyakinan yang ingin disampaikan. Cara mendalilkan muatan akidah dalam konteks logika perasaan di sini tidak menggunakan cara-cara silogistik sebagaimana yang umum kita pahamai dalam logika rasional. Menurut Sayyid Qutb, metode yang digunakan Al-Qur’an adalah metode pelukisan (tashwir), sebagaimana didefinisikan pada kutipan pembuka di atas. Sedangkan materi yang digunakan adalah hal-hal yang menggugah perasaan oleh indra, peristiwa-peristiwa yang dialami. Metode pelukisan ini menggunakan kata, ungkapan yang bersifat ilustratif bagi beragam konsep abstrak, kisah, gambaran tokoh maupun peristiwa kiamat, surga dan neraka.
Kita ambil satu sampel metode pelukisan yang disampaikan oleh Sayyid Qutb.
Guna menerangkan amal-amal mereka yang kafir kepada Allah seolah tidak ada artinya, dilukiskan oleh salah satu ayat berikut,
“Orang-orang yang kafir kepada Rabb-nya, amalan-amalan mereka adalah seperti abu yang ditiup angin dengan keras pada suatu hari yang berangin kencang. Mereka tidak dapat mengambil manfaat sedikitpun dari apa yang telah mereka usahakan (di dunia) (14:18).
Sayyid Qutb mengomentari, “Gambaran ini makin bertambah gerak dan kehidupannya dengan adanya gerakan angin di hari yang penuh dengan angin kencang, sehingga menerbangkan debu, tercerai berai tanpa bisa dihimpun kembali.”
Dialektika Pelukisan-Emotif
Selain menggunakan logika perasaan (mantiq wijdani) di atas, menurut Sayyid Qutb, Al-Qur’an juga menempuh jalan dialektika. Dialektika di sini semacam metode pertukaran pendapat atau debat (jadal). Sayyid Qutb menyebutnya sebagai jadal tashwiri (dialektika pelukisan-emotif). Hal ini untuk membedakannya dengan metode debat rasional yang biasa digunakan dengan saling melemparkan tesis dan sanggahan atas tesis, begitu seterusnya hingga dikalahkannya satu pihak.
Sebagai ilustrasi, untuk menegakkan ketauhidan Allah SWT, Al-Qur’an menggunakan cara mudah dan sederhana, tanpa silogisme rumit.
“Apakah mereka mengambil tuhan-tuhan dari bumi, yang dapat menghidupkan (orang-orang mati) ? Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak binasa. (21:21-22).
“Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada tuhan beserta-Nya, masing-masing tuhan akan membawa pergi makhluk yang diciptakannya, dan sebagain dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain.” (23:91)
Perasaan, kesadaran manusia disentuh melalui penggambaran kokohnya bumi, dan tidak adanya kebinasaan. Demikian dimunculkan penggambaran yang menggelikan terkait perginya tuhan-tuhan bersama makhluk masing-masing.
Kadang Al-Qur’an melompati saluran pikiran, indra; tetapi langsung ke tempat akidah, di dalam hati-nurani. Jiwa langsung dihubungkan dengan muatan akidah (tauhid) secara langsung, tanpa melalui pendahuluan maupun pendalilan yang panjang; dengan tetap menggunakan metode pelukisan artistik.
“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tidak ada sesuaatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengetahui tasbih mereka.” 17:44
Ketika turun 21:98, “Sesungguhnya kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan jahanam, kamu pasti masuk ke dalamnya” , diriwayatkan orang-orang musyrik mendebat dengan menyatkan, “Isa bin Maryam, di mana sebagian Ahli Kitab menyembahnya, apakah dia juga masuk jahanam ?” Jawaban Tuhan, “Mereka tidak memberikan perumpaan itu melainkan untuk membatah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar.” 43:58.
Di sini Al-Qur’an tidak mengikuti alur logika yang digunakan oleh kaum musyrikin. Di sini silogisme mereka di-blok dengan penggambaran motivasi intrinsik hati mereka. Akidah tidak kehilangan mutu, jika saham pikiran agak terbatas. Akidah tidak dibangun berdasarkan perdebatan rasional.
Refleksi
Dari pembahasan di atas, kita dapat memahami bahwa merubah akidah dalam jiwa memang bukan kerja akal-pikiran. Perubahan akidah adalah kerja kesadaran. Ada semacam lompatan kesadaran untuk menganut satu keyakinan. Pendalilan rasional dapat membuka jalan bagi akidah, tetapi memilih untuk memeluk satu akidah, tidak bergantung pada dalil rasional.
Apakah pendalilan rasional atau diskursus rasional mengenai keyakinan menjadi tidak penting ? Bagi Sayyid Qutb mungkin jawabannya positif, tetapi bagi banyak orang diskursus rasional tetap diperlukan. Ayat-ayat yang disitir oleh Sayyid Qutb dalam dialektika pelukisan-emotif, menjadi ayat yang didalilkan pula oleh ahli ilmu kalam Islam. Problem intelektual selalu dihadapi setiap peradaban, pencarian rasional bagi pemecahan problem itu tentu saja tidak dapat dihentikan begitu saja.
Mayoritas penganut Islam saat ini tentu saja bukan hasil konversi keyakinan, karena keyakinan tauhid sudah diwarisinya dari orang tua mereka. Mayoritas juga awam terhadap bahasa arab, apalagi terhadap cita rasa bahasanya. Penjelasan lebih diskursif, baik aspek rasional maupun emotif, ayat-ayat Al-Qur’an tetap diperlukan bagi pemantapan keyakinan mereka. Apa yang disebut sebagai logika perasaan oleh Sayyid Qutb, bagi kita yang awam tetap memerlukan penjelasan diskursif (penuh nalar).