Al Qur’an selalu relevan di semua tempat dan segala zaman, sejak diturunkan. Untuk menyerap relevansi itu perlu metodologi, berikut prinsip-prinsip umum dalam melakukan studi Qur’an:
- Memahami kerangka dasar Islam yang ada dalam Qur’an dan Sunnah dan selalu berada di dalam kerangka dasar spirir, konsep, aturan dan sistem yang telah ditetapkannya.
- Ayat Qur’an dan hadist Nabi dalam beberapa aspek tertentu perlu dipahami secara luas. Dalam hal ini perlu diingat, petunjuk Quran dapat dibagi dalam dua kategori besar :
- Tadzkir, peringatan, memberi pemahaman dan tanggapan atas kebenaran; penyucian intelektual dan spiritual, rasional dan emosial. Ini mengacu pada tilawah dan tazkiyah.
- Tahkim, perintah, utamanya terkait dengan aturan dan hukum, system dan institusi. Ini mengacu pada ta’lim al kitab.
- Kita dapat secara umum lebih bebas melakukan kontekstualisasi pemahaman pada domain pertama.
- Penafsiran harus terhindar dari inovasi -bidah- dan arti yang yang diatribusikan yang tidak dapat dikonstruksi dari makna dasarnya.
- Tidak ada bagian atau kata yang ditarik jauh dari makna tekstual dan konteks historisnya.
Menurut Amin Ahsan Islahi, hampir semua surat memiliki kembarannya, yang mirip dan melengkapi. Al Baqarah dengan ali Imr
an, al falaq dengan an nnas, al a’la dengan al ghashiyah. Dalam konteks ini al isra dan al kahfi. Tentu ada pengecualian, menurut islahi al fatihah adalah pengecualiaan. At taubah adalah ekstensi dari al anfal, demikian pula an nur ekstensi dari al mukminun.
Israr ahmad penafsir lain dari Pakistan menyatakan al isra dimulai dengan tasbih dan al kahfi dengan tahmid, saling komplemen sebagaimana ada hadist menyatakan tasbih dan tahmid memenuhi skala langit dan bumi. Ada kemiripan dalam akhir setiap surat, di mulai dengan qul. Isra asmaul husna, kahfi kalimat Allah. Isra melarang syirik- sehingga menurunkan status ketuhanan Allah, kahfi melarang mengangkat seseorang ke status ketuhanan. Akhir isra, perintah takbir; akhir kahfi perintah tahmid. Ada beberapa topik yang diulang dalam dua surat, kisah adam, presentasi pada hari kiamat, misi kenabian dalam dua surt dijelaskan sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan.
Struktur Al Kahfi
Bagian 1 Pembukaan | 1-8 |
Bagian 2 Ashabul Kahfi | 9-26 |
Bagian 3 Petunjuk kepada Nabi | 27-31 |
Bagian 4 Dua perumpamaan | 32-49 |
Bagian 5 Kisah Adam | 50-59 |
Bagian 6 Kisah Musa dan Khidr | 60-82 |
Bagian 7 Kisah Dzulkarnain | 83-101 |
Bagian 8 Kesimpulan | 102-110 |
Bagian 1, Pembukaan (1-8)
Pujian kepada Allah. Hadist mengenai tasbih dan tahmid memenuhi petala langit dan bumi. Tasbih mengacu pada kesempurnaan dan keagungan kekuasaan Allah, tahamid mengecu pada nikmat dan berkah yang diberikan Tuhan kepada manusia, termasuk dengan mengirimkan petunjuk kepadanya. Eksistensi Tuhan jarang ditolak manusia, tetapi Dia sebagai satu-satunya Tuhan dalam kesucian atribut, dan keesaan-Nya lah yang ditolak; dengan menyifati selain-Nya dengan sifat Kuasa dan sifat lain yang eklusif bagi Tuhan. Sekularis modern menyelesaikan persoalan ini dengan menolak kehadiran-Nya (presense); eksistensi-Nya tidaklah dipedulikan bagi mereka. Bagi mereka, proses dunia dapat dijelaskan secara mekanistik dan evolutif.
Tetapi sekularisme ini menciptakan mitos baru bagi mereka. Rasionalisme, positivisme dan metode ilmiah menggantikan ‘skriptur’ yang meminta keyakinan dogmatic buta. Atribusi semi ketuhanan pada teknologi, kekuasaan, bangsa dsb.
Alhamdulillah melawan konsepsi sekular di atas. Tuhan bukan kreasi imajinasi atau produk evolusi sosial, Dia tidak mencipta kemudian meninggalkan ciptaan-Nya. Mekanisme (alam) dapat mengulang atau mereproduksi tetapi tidak dapat mencipta dan memvairasikan.
Hamd bukan sekedar deklarasi keyakinan intelektual-spiritual, tetapi juga sebentuk pujian-dengan terima kasih, ekspresi kesadaran personal. Dimensi resiprositas relasi antara Tuhan dan manusia. Memberi arti dan tujuan pada hidup kita.
Tuhan yang memberikan petunjuk. Dalam bentuk kitab. Kitab yang tidak ada kebengkokan (‘iwaj) – apa yang ada di dalamnya seimbang-sempurna, proposi, simetri dan integrasi. Tidak ada yang irrasional atau tidak dapat dinalar. Qoyyim-lurus, kapasitas untuk meluruskan dan membawa setiap hal ke dalam posisi yang tepat, selalu mengawasi.
Di sini petunjuk dalam bentuk wahyu merupakan kebutuhan kemanusiaan, yang tidak dapat dipenuhi kecuali dengan wahyu itu; peran yang tidak tergantikan bahkan oleh alam, sejarah maupun manusia. Wahyu Tuhan tidak muncul dalam bentuk manusia-dewa. Rasul hanyalah penyampai risalah.
Bagian 2, Ashabul kahfi (9-26)
Pemuda kahfi adalah pemuda beriman, yang tidak saja menghujam ke dalam lubuk jiwa mereka; tetapi juga membawa mereka berdiri atas keimanan itu untuk berjuang mengubah lingkungannya agar seturut dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Mereka mendapatkan penindasan dari kultur dominan dan sekular. Kemudian mereka bersembunyi dalam gua, bukan melarikan diri tetapi menata diri, menguatkan strategi perjuangan. Atas rahmat Tuhan mereka membuat waktu seolah berhenti bagi mereka.
Prolog, 9-12. Realitas waktu tidak sepenuhnya kita pahami, sebatas ukuran kuantitatifnya. Semesta ini bukan mesin, atau sekedar fenomena evolusi mekanik. Dalam arus proses sejarah, kurun dapat mengecil menjadi satu momen, momen dapat meluas ke dalam kurun. Hidup mati, mati hidup; berlaku untuk kehidupan fisik, intelektual dan spiritual. Dimensi sejarah memberikan perspektif tujuan, kebijakan, ‘tangan’ yang mengintervensi proses. Kontrol Tuhan dalam proses sejarah.
Kekuasaan Tuhan. 23-24. Mengenali eksistensi Tuhan dalam pengalaman harian kita tidak selalu membawa pada penyerahan diri pada-Nya, kecuali ia meyakini kemahakuasaan-Nya mengintervensi -mengontrol- proses sejarah. Insya Allah, lawan dari materialisme, pandangan sekularis terhadap dunia; yang diatur oleh mekanisme alam maupun evolusi kehidupan.
Bagian 3, Petunjuk Bagi Nabi (27-31)
Surat Al Kahfi tidak bekerja seperti sulap. Strategi mengatasi tantangan materialisme peradaban, tidak seperti sulap, tetapi melalui pelurusan – menangani- isu-isu dasar terkait alam pikiran dan alam spiritual, menggariskan kerangka/framework alternatif terkait ide, nilai, keyakinan dan perilaku. Al Kahfi menginspirasi jalan dan strategi. Komponen strategi perlawanan; (1) menyerahkan diri secara total dalam ajaran (kitab) yang diwahyukan (ayat 27)-kita memerlukan keteguhan hati (rabtul qalb), sesuatu yang konstan, yang mengintegrasikan diri kita; dari beragama perubahan pengalaman hidup, yang kadang membuat disintegrasi,diskoneksi dan dislokasi (2) persaudaraan Bersama dalam mengingat Tuhan secara konstan (ayat 28), membentuk kultur kehidupan baru (3) deklrasi kebenaran melalui aktivitas mengajak kepada kebenaran (dakwah)
Kitab Tuhan
Penggantian wahyu dengan metode saintifik sebagai sumber petunjuk merupakan sebab utama kemunculan peradaban sekular. Strategi perjuangan melawan dominasi peradaban sekular adalah dengan ‘membaca’ wahyu (27). Tilawah, mengikuti; membaca dengan penuh perhatian dan pemahaman, mengajarkan dan menyebarkan. Melakukan re-orientasi pemikiran, nilai dan perilaku kita kepada wahyu.
Tidak ada perubahan pada wahyu Tuhan. Era modern didominasi oleh ide perubahan. Perubahan menjadi nilai dan norma. Wahyu memberi ketetapan-hati (rabt al-qalb), integrasi personalitas.
Persaudaran Robbani
Komitmen dalam iman perlu kultur. Kultur muncul dalam kelompok (28). Relasi persaudaraan terefleksi dalam banyak aktivitas, utamanya yad’un (menyeru, do’a) dan ya’budun (menyembah). ‘Menyeru kepada Tuhan’ ekspresi kesadaran dependensi kepada-Nya, percaya penuh kepada-Nya, ada timbal balik hubungan di sini (do’a – ijabah). Hamd, pujian melahirkan permohonan (do’a). Relasi diri, kelompok dengan Pencipta, diikat oleh perintah sabar, sumber kohesivitas kultur, dalam mencari ridha dan berdo’a kepada-Nya.
Aspek negatifnya, perlu juga menghindari model-model menyimpang; (1) mereka yang hatinya lupa mengingat Tuhan, (2) mengikuti hawa nafsu, (3) mereka yang atitude-nya penuh ekses.
Dakwah
Ayat 29, perlu dimaknai bukan menarik diri dari masyarakat (isolasi) tetapi dalam pengertian dakwah (masuk ke dalam gelanggang sejarah) untuk menyeru manusia.
Bagian 4, Perumpamaan (32-49)
Dua karakter, dua budaya.
32-44 Orang kaya, memiliki kebun yang produktif. Fondasi materilisme budaya sekular. Dua kebun, kompleks industry, memberik keuntungan ekonomis, system bekerja dengan baik sesuai dasar teknologi, tumbuh dan berkembang; kemajuan teknis yang seolah tidak akan kolaps, Ukuran kehidupan adalah kekayaan dan kekuasaan. “Menzalimi diri sendiri” maknanya dia meracuni dirinya dengan konsep yang sesat (error) atas dirinya sendiri (sebagai manusia) yang melihat peradaban dan kemajuan ekonomi-nya, sebagai akibat dari kehebatan usaha dan ilmunya. Karakter ini tidak menolak Tuhan; bahkan dia memberikan referensi kepada Tuhan dalam kata-katanya. Orang ini juga tidak menyembah berhala atau menyekutuhan Tuhan dengan yang lain (secara fisik). Tetapi tetap ada nilai kufur, sirik dalam keyakinan dan perilakunya, menjadikan dirinya sebagai tuhan.
45-49 Kehidupan Dunia. Realitas kehidupan dunia, hanya sementara. Sudut pandang materialis adalah palsu, salah. Setelah kehidupan dunia ada akhirat.
Bagian 5, Kisah Adam dan Setan (50-59)
Pengingat terhadap permusuhan abadi setan kepada manusia. Bentuk penyesatan, pembangkangan terhadap perintah Tuhan. Salah satu bentuk mengikuti langkah setan, penyembahan di era modern terhadap setan, pengagungan diri sendiri (merasa cukup hebat)-self sufficiency.
Bagian 6, Kisah Musa dan Khidr (60-82)
Makna dalam Sejarah
Apakah ada makna dalam peristiwa sejarah ? peristiwa personal, sosietal maupun kosmis ada dalam kerangka Kebijaksanaan, Kebaikan dan Kekuasaan Tuhan. Ini problem klasik dalam filsafat, problem kejahatan, yang kadang memunculkan penolakan pada eksistensi Tuhan (atau minimal campur-tangan Tuhan dalam sejarah); bagi mereka hanya hukum-alam-material-buta yang mendeterminasi sejarah.
Musa mungkin terusik dengan problem ini, ketika melihat penindasan Firaun atas kaumnya, penolakan Fir’aun untuk tunduk pada kebenaran. Dia melakukan ‘perjalanan’ untuk mencari makna peristiwa yang tidak dapat dipahaminya, pencarian akan ‘mengapa’ seolah-olah sejarah membuka dirinya tanpa tujuan, dalam batas pengetahuan manusiawinya.
Perjalanannya bersama Khidr membuka tirai makna beberapa peristiwa yang secara material dialami, dan sebagian dikomentari mapun dia tolak dengan pertanyaan ‘mengapa’. Tiga peristiwa yang dialami Musa bersama Khidr memiliki makna umum dan dalam aplikasinya pada peristiwa-peristiwa dalam sejarah. Setiap kata mugkin sebagiannya memiliki arti simbolik.
- Sejarah tidak dikendalikan oleh hukum seperti hukum yang mengatur dunia natural, fisik (bisa dikuantifikasi, diukur, dijelaskan, dipahami dan diprediksi sampai level tertentu). Dalam sejarah hukum yang berlaku adalah hukum moral, tidak bisa dikuantifikasi dan sulit diprediksi.
- Kelemahan, kekalahan yang diterima orang beriman atau kejayaan yang dicapai oleh mereka yang menolak Tuhan, hanya temporal bahkan mungkin bersifat ilusif; bukan penanda bagi hasil final.
- Referensi pada orangtua yang beriman, baik (dua kali), menunjukkan hasil jangka panjang dari kebaikan.
- Peristiwa yang terjadi mungkin tidak bisa dipahami, tetapi Tuhan memiliki kontrol atas semua dan memberi petunjuk kepada mereka.
- Apa yang tidak bisa dipahami, bukan berarti tanpa arti. Apa yang tampak buruk sekarang, akan berefek baik pada jangka panjang.
- Apa yang bisa dilakukan oleh dalam penglihatan manusia yang terbatas dan proses sejarah yang panjang adalah bersabar dan konsisten dalam kebenaran. Sabar dalam kebenaran tidaklah mudah, perlu analisa situasi, aktif berusaha mencari solusi terbaik, tidak pasif.
- Lebih dari itu semua, kita tidak memonopoli pengetahuan. Di atas yang berpengetahuan ada yang lebih mengetahui. Dan Allah Yang Maha Mengetahui.
Bagian 7, Kisah Dzulqarnain (83-101)
Pertanyaan perenial bagi banya orang, bagaimana jika penguasa adil mendominasi empiyar yang sangat luas ? sebuah role model bagi super power.
- Perjalanan pertama. Mudah memilih untuk menjadi diktator, pemimpin proksi, pemimpin korup. Dzulqarnain memilih memerintah dengan hukum dan ketertiban.
- Ekspedisi kedua. Pada bangsa yang primitif, dia tidak melakukan interfensi untuk modernisasi, atau politik ‘edukasi pribumi’, bumi hangus budaya. Policy-nya, menghukum pelaku pelanggaran dan membantu yang memerlukan.
- Kampanye akhir. Kebijakan tetap, memberantas kemungkaran dan menggalakan kebaikan; tetapi menggunakan sumberdaya lokal dan melibatkan rakyat dalam proyek besar pembebasan.
Bagian 8, Kesimpulan (102-110)
Semesta ini terlalu luas dan di luar imajinasi personal kita untuk memahami semuanya. Dibandingkan dengan pengetahuan Allah yang tak terbatas, pengetahuan kita hanya ibarat setetes tinta di lautan. Jalan terbaik untuk mencapai kesuksesan, adalah penerimaan terhadap pesan (wahyu) dari Tuhan.
Beberapa Pelajaran
- Hidup adalah aliran ujian untuk melihat respon etis kita terhadap problem.
- Ujian keimanan (kisah ashabul kahfi)
- Ujian kekayaan (kisah pemilik dua kebun)
- Ujian pengetahuan (kisah Musa dan Khidr)
- Ujian kekuasaan (kisah Dzulqarnain)
- Relevansi Al Kahfi pada masa kita
- Kebudayaan pada era kita materialis pada esensinya, manusia cenderung mereasa self-sufficient. Alkahfi mengulang pesan tauhid dan akhirat.
- “Gua” di zaman kita. Menyimbolkan strategi menghadapi tantangan zaman.