142-286 Pembentukan Umat : Dimensi Sosial
Subjek umum bagian kedua ini adalah pembentukan umat, yang mampu memerankan fungsi kekhalifahan. Pada akhir bagian pertama (bertepatan dengan akhir juz 1), tema terkait dengan perjuangan Ibrahim, salah satu episode yang muncul adalah pembangunan Ka’bah. Permulaan subjek umum ke-2 ini terkait dengan peralihan kiblat. Kemudian tema berkembang seputar identitas umat (kiblat), perjuangan, peraturan (hukum), esensi kebaikan, kepemimpinan, tugas kerasulan, konsepsi tauhid, pembuktian iman melalui infaq, penegasan hukum masalah transaksi finansial, kemudian ditutup dengan do’a. Tabel di bawah ini memberikan peta rangkaian ayat berikut tema dan sub-temanya.
142-152 Identitas umat
Ditegaskan di sini bahwa agama bukan sekedar urusan pribadi, agama juga adalah kesatuan sosial. Walaupun pada subjek 1 ditegaskan arah manapun bisa dituju dalam ketaatan kepada Allah, di sini konteks sosial memerlukan arah (kiblat) yang khas lagi definitif. Ditautkan dengan tema pada bagian sebelumnya mengenai pembangunan Ka’bah, disini (142-143) diungkapkan reaksi terhadap perubahan kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Ini merupakan penegasan identitas umat, yang memiliki misi sebagai umat pertengahan, yang menjadi saksi bagi umat manusia. [144-147] menceritakan proses dan latarbelakang peralihan kiblat.
Finalitas kiblat ke Ka’bah ditegaskan dalam rangkaian selanjutnya [148-152], seraya mengingatkan pokok utama adalah berlomba dalam kebaikan (karena setiap umat ada kiblatnya masing-masing), yang dinilai adalah kesungguhan menaati perintah. Di sini juga ditegaskan bahwa peralihan kiblat adalah salah satu nikmat, setelah nikmat diutusnya Rasulullah SAW. Selain itu dimunculkan visi akan penyempurnaan nikmat di masa mendatang (janji kemenangan, yang dalam sejarah terealisasi melalui fathu Makkah).
153-162 Perjuangan menegakkan risalah
Masa antara peralihan kiblat dan penyempurnaan nikmat (kemenangan di masa depan) adalah masa-masa penuh ujian, cobaan. Sabar dalam perjuangan diperlukan di sini, demikian pula ketenangan yang merupakan efek dari salat [153-157]. Visi penyempurnaan nikmat di masa depan dipertegas dengan pembahasan terkait realisasi ibadah di antara Shafa dan Marwa [158]. Pembangunan umat, yang penuh perjuangan, juga akan menghadapi penentangan oleh golongan ahlu-kitab yang mengorupsi kebenaran [159-162].
163-176 Pokok keyakinan dan rambu-rambunya
Terkait dengan korupsi kebenaran yang menimpa umat terdahulu ditegaskan kembali di sini pokok keyakinan yang benar dan rambu-rambunya. Iman kepada Allah dengan benar melalui tafakur atas alam semesta, ciptaan-Nya [163-164]. Keyakinan kepada Allah ini terefleksi pada emosi (rasa cinta). Kezaliman diri sendiri (dalam bentuk kesalahan konsepsi iman) umumnya disebabkan karena mengikuti pimpinan yang salah lagi meyesatkan [165-167].
Bagaimana mereka yang dianggap sebagai pemimpin itu melenceng dari kebenaran, dari jalan Tuhan, umumnya karena soal cari makan dan mempertahankan tradisi. Sehingga di sini diingatkan terkait makan yang halal dan baik secara umum bagi semua umat manusia [168-171]. Seruan lebih khusus juga diarahkan kepada mereka yang beriman terkait perintah makan yang halal dan baik ini [172], dan rincian jenis makanan yang diharamkan disebutkan dalam ayat [173]. Satu kejahatan diingatkan terkait dengan masalah penghidupan (makan) ini, yaitu menyembunyikan kebenaran [174-176].
177 Esensi Kebaikan
Penghadapan wajah kemana saja atau ke arah kiblat (dalam ibadah) hanyalah aspek eksternal, esensinya adalah kebajikan. Kebajikan yang refleksinya pada keyakinan, ibadah (solat), pemberian, pemenuhan janji, sabar (dalam kemiskinan, kesusahan, perang). Ujungnya adalah takwa.
178-203 Peraturan hukum
Kunci yang menautkan peraturan hukum (undang-undang) adalah takwa. Hal ini tampak jelas dengan disebutkannya secara eksplisit dalam rangkaian-rangkaian ayat terkait peraturan, hukum, undang-undang.
[178-179] membahas hukum qisash. Ujung ayat menyatakan pelaksanaan hukum ini agar mereka bertakwa. Masih senafas dengan hukum qisash yang terkait dengan kematian karena pembunuhan, [180-182] membahas wasiat dan kenotariatan sebelum seseorang meniggal.
[183-87] mengenai hukum puasa.Puasa mengatur makan dan minum, kemudian dilanjutkan dengan peringatan terkait kebersihan dengan urusan mencari makan (masalah mata pencaharian) dalam ayat [188].
Ayat [189] membahas pertanyaan mengenai bulan, konteksnya menjadi pengantar pembahasan haji selanjutnya. Disini diberikan jawaban atas pertanyaan yang sebenarnya tidak tepat ditanyakan kepada Nabi. Pelajaran bertakwa dalam bertanya di sini berarti bertanya sesuai dengan penempatannya, pertanyaan yang tepat diajukan pada posisi Nabi Muhammad sebagai Rasul, bukan sebagai astronom.
[190-193] bicara hukum perang. Konteksnya sejarahnya adalah riwayat dihalanginya proses haji oleh kaum Quraisy. [194-195] masih berbicara hukum perang, penegasan takwa dalam peperangan. [196-203] membahas takwa dalam konteks haji.
204-215 Esensi beragama
Pembahasan haji sementara selesai, manusia (haji) mulai kembali ke kehidupan sehari-hari. Karena tujuan haji adalah takwa, menempuh kehidupan sehari-hari harulah dengan takwa pula. Kebersihan hati dari karakter munafik dan zalim, menghindari kebohongan; kezaliman yang merusak sawah, ladang (ekonomi) dan keturunan (sosial-moral) [204-207]. Takwa berarti kembali ke esensi beragama, ketundukan kepada Allah secara total [208-210]. Mengajak semua golongan untuk kembali kepada esensi agama ini, serta peringatan agar tidak tergelincir dari jalan lurus [211-213]. Petunjuk tidak didapat begitu saja, perlu perjuangan. Tantangan dan cobaan dari eksternal, sekaligus internal [214-215]. Jangan lupakan masalah internal dengan menggalakkan pemberiaan (nafkah).
216-242 Peraturan hukum
Rangkaian ayat mulai bicara masalah hukum. Dimulai dengan bicara hukum perang kembali [216-218]. Kemudian masalah hukum minuman keras dan judi [219-220] dan problem anak yatim dan distribusi nafkah (harta). Proses pengharaman minuman keras dan judi berbasis pada edukasi masyarakat, bersifat gradual. Masyarakat takwa tidak dapat tercapai jika marak di dalamnya perjudian dan mabuk. Distribusi nafkah (harta) yang tepat berhubungan dengan aspek pemborosan harta dalam perjudian dan minuman keras.
Selanjutnya rangkaian ayat berbicara mengenai hukum pernikahan secara panjang lebar; kehatian-hatian dalam memilih pasangan (kufu’) dan masalah haid [221-223], masalah sumpah [224-225], masalah sumpah khusus (ila’) dan talak [226-230], masalah ruju’, iddah dan pernikahan kembali [231-232], masalah penyusuan anak, pendidikan anak, iddah karena berkabung [233-234], masalah peminangan pada masa iddah, serta kasus talak sebelum bercampur [235-237].
[238-239] perintah menjaga salat, terutama salat wustha’. Apa relevansi dan relasinya dengan pembahasan mengenai hukum pernikahan yang panjang lebar di atas. Kata kunci takwa yang tersebar di sana. Ujung kunci pembicaraan masalah-masalah keluarga adalah takwa. Salat adalah tiang agama, sehingga memelihara hubungan dengan Allah (takwa) direalisasikan melalui salat. Takwa, melalui pelaksanaan salat menjadi pengikat keluarga.
Pembahasan ujung pada hukum pernikahan terkait dengan masa iddah berkabung. Ayat [240-242] membahas masalah terkait dengan kematian yaitu wasiat pemberiaan. Selanjutnya pembahasan mengenal bekal harta (mut’ah) karena perceraian.
243-245 Perjuangan dan pengorbanan
Tegaknya masyarakat sendinya adalah pribadi dan keluarga. Sebagaimana dijelaskan tata hukumnya pada ayat-ayat sebelumnya. Tetapi, tegaknya umat ini (dengan kepribadian khasnya) tergantung pada semangat pembelaan, realisasi cita-cita, dan semangat pengorbanan. Hal ini terealisasi melalui perjuangan di jalan Allah dan memberikan pinjaman (infaq) di jalan Allah.
246-248 Memilih pemimpin
Dalam rangka menghidupkan visi pembangunan umat, Allah menceritakan kisah Talut. Di sini terefleksi pentingnya aspek kepemimpinan dalam masyarakat. [246-248] mengenai urgensi kepemimpinan, [249-253] mengenai karakter kepemimpinan, ketabahan dalam menjalankan misi dan kaidah kemenangan yang tidak tergantung banyaknya jumlah.
(bersambung ke bagian ke-4)
1 thought on “Koherensi Tematis dalam Tafsir Al-Azhar Buya Hamka, Studi Kasus Surat Al-Baqarah (Bagian 3)”