Hakikat Beragama (1 – 141) : Dimensi Individu
Tabel di bawah ini mengikhtisarkan tema dan subtema dalam subjek ini. Subtema secara prinsip memang muncul secara berurutan, tetapi perulangan subtema juga akan ditemui (sebagai penegasan maupun pengingatan kembali).
1-20 Tipologi manusia berdasar respon terhadap petunjuk
Pembicaraan dimulai dengan masalah petunjuk dan tipologi manusia berdasarkan sikapnya terhadap petunjuk dari Allah [1-20]. Topik petunjuk bertautan dengan permohonan petunjuk di dalam surat Al Fatihah. Berdasar sikapnya terhadap petunjuk manusia terpeta menjadi tiga kelompok; mereka yang bertakwa (1-5), mereka yang menentang, menolak, kafir (6-7) dan mereka yang berjiwa peragu, pecah kepribadian, munafik (8-20).
21-29 Misi ibadah dalam kehidupan
Rangkaian ayat (21-25) beralih kepada misi ibadah bagi umat manusia. Peralihan ini terkait dengan pilihan rasional bagi mereka yang berakal dalam memilih di antara ketiga tipe manusia di atas. Aspek ibadah yang paling penting adalah tauhid. Pelajaran tauhid didapat melalui tafakur terhadap fenomena alam (ayat kauniyah) dan tafakur terhadap fenomena wahyu (ayat quraniyah) yang diturunkan. Jika ada keraguan terhadap fenomena wahyu (al Qur’an), manusia diberikan tantangan untuk membuat yang semisal dengannya. Untuk mencapai kesimpulan yang sahih terhadap keyakinan agama (tauhid) manusia perlu memberdayakan akal dan menghindari sikap fasik (26-29).
30-39 Misi kekhalifahan dalam kehidupan
Setelah ajakan memikirkan fenomena langit dan bumi; dengan bumi yang sudah tersedia bagi manusia; selanjutnya manusia diajak memikirkan misinya di bumi (untuk apa manusia diciptakan). Tema misi kekhilafahan manusia dipaparkan melalui kisah Adam (30-33).
Makna kekhilafahan mencakup makna khalifah sebagai pengganti makhluk sebelumnya dalam memakmurkan bumi, juga makna sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Keunggulan manusia sebagai khalifah dibanding makhluk lain adalah pada kemampuan rasionalnya (dalam memberi nama), tetapi juga pada kemampuan etisnya (bertaubat dari kesalahan, kemampuan membedakan dan memilih yang benar dari yang salah) sebagaimana dibuktikan dari ujian yang diberikan agar tidak mendekati larangan (mendekati pohon).
Manusia sebagai khalifah juga memiliki musuh abadi (iblis dan keturunannya). Dalam mengarungi kehidupannya di dunia, manusia tidak dibiarkan tanpa petunjuk. Petunjuk Allah akan membimbing mereka dalam menjalani hidup yang terbebas dari takut dan duka cita eksistensial [34-39].
40-123 Hakikat beragama dan pelajaran dari kegagalan menjalankan dan menegakkan risalah
Akhir kisah Adam ditutup dengan tema mengenai petunjuk, risalah dari Tuhan. Tentu saja ada yang menolak risalah maupun menerima, juga ada yang menerima namun gagal dalam menegakkan risalah itu. Risalah (petunjuk, agama) tidak sekedar diterima namun perlu ditegakkan. Dalam konteks inilah kisah mengenai Bani Israel menemukan relevansinya, mereka yang sepatutnya menerima dakwah risalah terakhir alih-alih justru menolak dakwah Nabi Muhammad. Kisah Bani Israel juga terkait dengan kegagalan mereka dalam menegakkan risalah (yang mereka terima sebelumnya, melalui para Nabi) dalam kehidupan pada beragam dimensinya).
Apa sebab penolakan mereka atas risalah terakhir ? Chauvinisme, klaim kemuliaan mereka sebagai bangsa pilihan menjadi satu faktor. Al Qur’an menyatakan pengutamaan mereka dahulu tidak terkait dengan rasialisme.
Kegagalan dalam menegakkan risalah bersumber dari penyakit moral maupun penyakit pemikiran yang muncul di kalangan awam maupun intelektual (agamawan). Rasa takut pada pemimpin menjangkiti awam. Mencampuradukkan hak dan batil, menyembunyikan yang hak, serta tidak beramal menjangkiti intelektual (agamawan) [40-46]. Kesombongan ras yang muncul tidak memiliki dasar, penyelamatan bangsa disebabkan karena penindasan (firaun); pokok kemuliaan adalah pada pertanggungjawaban di akhirat [47-50].
Pembicaraan selanjutnya fokus pada sejarah pemberian nikmat dan responsi mereka terhadap nikmat itu. Responsi yang mengindikasikan adanya problem mentalitas yang menghalangi mereka (Bani Israel) dari penegakkan risalah. Sebagai bahan pengingat pula bagi Umat Islam yang baru muncul.
[51-56] Problem mentalitas dalam merespon nikmat penyelamatan dari kejaran fir’aun, pemberian kitab (pokok agama) dan furqan (aturan, perundangan), dengan menyembah sapi dan keinginan melihat Tuhan secara kasat mata.
[57-61] Problem mentalitas dalam merespon nikmat awan dan makanan (manna dan salwa), kemudahan memasuki negeri, nikmat mata-air; dengan kerewelan, kemanjaan, kriminalitas (membunuh Nabi), kedurhakaan dan sikap melampaui batas. Responsi yang berakibat pada kehinaan, kerendahan dan kemarahan atas mereka.
Setelah menggambarkan fenomena mentalitas di atas, tema bergerak mengingatkan tentang hakikat beragama [62-66]. Peralihan konteks ini sebenarnya kembali pada tema petunjuk yang diterima oleh Adam. Inti pokok beragama bukan sekedar klaim saja, tetapi kesungguhan iman kepada Allah dan hari akhir serta beramal saleh. Agama adalah iman dan amal saleh. Mereka yang sungguh-sungguh beriman dan beramal saleh akan terlepas dari rasa takut dan sedih. Konteks ayat 62 ini sangat umum, meliputi mereka yang bahkan di-identifikasi dengan berlainan agama (orang mukmin, yahudi, nasrani dan sabiin). Inti agama adalah pencarian kebenaran, jika terus secara konsisten dan jujur mencari pasti akan bertemu pada titik iman dan amal saleh sebagai pokok agama; fitrah manusia akan bertemu agama. Tentu saja dalam konteks ini tugas dakwah tidak berhenti, dalam upaya mempertemukan fitrah dengan hakikat agama yang sebenarnya.
Apa sebab terjadi pembelahan, perpecahan bahkan peperangan bahkan atas nama agama ? Penyebabnya adalah rasa bergolongan, mengubah agama menjadi klaim golongan, pengakuan sebatas mulut saja. Dalam konteks Bani Israel, jika mereka konsisten mengikuti Taurat niscaya akan bertemu dengan risalah Nabi Muhammad. Diingatkan bahwa beragama bukanlah permainan mulut saja, sebagaimana kisah pelanggaran perintah di hari sabtu oleh Bani Israel.
Menyambung peringatan terkait beragama bukan sekedar permainan, rangkaian ayat [67-74] berisi kisah terkait sapi betina. Kisah ini merefleksikan kesombongan, dan sikap mempersulit diri, serta berpanjang-panjang dalam perbantahan. Sehingga beragama hilang ciri kesederhanaannya. Selanjutnya diungkapkan macam-macam bentuk penyakit dalam beragama (menjalankan agama).
Rangkaian ayat [75-79] menggambarkan penyakit intelektual, pemikiran yang menjadi akar dari sikap mempermainkan agama, yaitu ketidakjujuran intelektual. Ketidakjujuran intelektual ini meliputi melakukan pengubahan wahyu, menyimpangkan arti, merubah ajaran agama serta memperjualbelikan agama (fatwa). Umumnya ini menjangkiti kaum cendekiawan, intelektual, dan agamawan. Sedangkan bagi masyarakat awam, terjangkit penyakit tahayul, dongeng dan membuta tuli dalam mengikuti pimpinan. Penyakit dalam beragama yang lain (dari sisi moral) [80-83] adalah kesombongan, yang meremehkan iman dan amal, meringan-ringankan perintah agama; karena merasa istimewa (tidak akan tersentuh api neraka). Diingatkan kembali pokok hakikat agama, iman kepada Allah dan tanggungjawab di akhirat, serta amal saleh. Kemudian disebutkan bentuk refleksi iman dalam amal saleh dalam pelaksanaan perintah larangan syirik, berbakti kepada orang tua, memberikan harta kepada yang berhak. Ayat [84-86] masih melanjutkan dengan perintah untuk tidak melakukan penumpahan darah, bentuk kriminalitas yang sangat berat.
Pembicaraan mengenai penyakit dalam beragama berlanjut dengan mengelaborasi motivasi dasar yang membentuk sikap mereka yaitu rasa dengki, juga merasa diri mereka adalah khazanah ilmu (sehingga merasa cukup ilmu, tidak perlu kepada petunjuk lagi) sehingga memunculkan tindakan ekstrim (puncaknya membunuh para Nabi) yang membuat mereka kena kutuk, murka dan azab [87-91]. Kedengkian itu bertemu pula dengan kecintaan berlebih terhadap dunia (materialisme) [92-96].
Teguran terkait pikiran, mentalitas dan perilaku yang salah masih berlanjut dalam rangkaian ayat [97-101], khususnya terkait sikap membagun permusuhan terhadap para malaikat; juga pengingkaran janji kepada Tuhan secara berulang-ulang. Teguran juga mengenai serangan terhadap pribadi Nabi Muhammad dengan melakukan distorsi terhadap pribadi beliau, pengubahan panggilan kepada Rasul [102-104]. Pembicaraan kemudian berubah konteks guna membicarakan tuntunan adab kaum mukmin kepada Rasul dalam berbicara, dengan membawa kepada situasi aktual ketika itu. Diutusnya Rasulullah SAW merupakan fenomena kelanjutan dari terutusnya rasul-rasul terdahulu. Faktor ketidaksukaan dan permusuhan ahlu-kitab terhadap kenabian Nabi Muhammad dan kaum muslimin adalah faktor dengki [105-107]. Diingatkan kepada kaum mukmin agar tidak berlebihan dalam bertanya (yang menyusahkan) sebagai bagian dari adab kepada Rasul. Benteng pertahanan untuk menghadapi kedengkian ahlu-kitab adalah kembali kepada iman dan amal, yang terefleksi dalam salat dan zakat [108-110].
Tuntunan adab ini kemudian berlanjut dengan mengingatkan kaum mukmin agar waspada terhadap penyakit yang menggerogoti iman dan amal; agar agama tidak sekedar menjadi sebutan (kehilangan roh) sebagaimana yang terjadi pada ahlu-kitab yang mengklaim bahwa surga sudah dijamin. Kembali disimpulkan penyebab hilangnya roh agama ini, karena agama telah menjadi previlege (hak istimewa) golongan, ras, atau banga. Bukan itu hakikat beragama, sebaliknya ia adalah sikap hidup (ketundukan diri) kepada Allah. Kesejatian beragama juga terefleksi dalam perilaku yang memberi kebebasan dalam ibadah, menghindari kezaliman yang merintangi kebebasan ibadah [111-114].
Pada ujung rangkaian ayat sebelumnya disinggung mengenai kebebasan beribadah. Rangkaian ayat [115-118] mendeskripsikan hakikat ibadah yaitu mengarahkan tujuan kepada Allah semata, terlepas kemana menghadap baik timur maupun barat. Timur dan barat adalah milik Allah. Siapa sebenar-nya Tuhan itu ? Dia-lah yang Tunggal, tiada memiliki anak, sang pencipta tanpa bandingan. Di sini disebutkan miskonsepsi yang sering muncul dalam keyakinan agama, miskonsepsi bahwa Tuhan memiliki anak dan miskonsepsi bahwa Tuhan harus berkata-kata langsung dengan manusia.
Dengan konsepsi tauhid yang jernih itu (yang dapat dipertanggungjawabkan oleh akal sehat), Rasul harus istikamah dalam menjalankan tugas sebagai penyampai kebenaran, memberi peringatan. Saling rebut pengaruh antar kelompok (yang mengklaim kebenaran) adalah keniscayaan. Petunjuk yang benar adalah yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya. Untuk memahaminya perlu menjauhi hawa nafsu dan melakukan pembacaan yang benar terhadap wahyu (tercakup didalamnya pengertian mengikuti).[119-123]. Sebagai penutup topik, diingatkan kembali nikmat yang telah diberikan kepada Bani Israel, sebagai momen untuk peralihan konteks pembicaraan.
40-123 Tanggungjawab menjalankan dan menegakkan risalah
Delapan puluh dua ayat berbicara dengan membawa konteks sejarah Bani Israel. Secara nasab asal, Bani Ismail (darimana Rasulullah SAW diturunkan) dan Bani Israel bertemu pada pokok ujungnya, yaitu Ibrahim. Secara esensi agama yang dibawa oleh Rasulullah SAW adalah agama Ibrahim yang murni. Konteks rangkaian ayat [124-129] berbicara mengenai sejarah Ibrahim sebagai imam (teladan); yang lulus secara sempurna dari beragam ujian, kisah pembangunan Ka’bah dan untaian do’a Ibrahim. Rasulullah adalah jawaban Allah terhadap do’a Ibrahim ketika membangun Ka’bah. Rangkaian ayat [130-134] menegaskan intisari ajaran Ibrahim, yaitu ketundukan murni kepada Allah, dengan kata lain adalah Islam. Agama yang diwariskan kepada anak cucunya. Generasi Ibrahim maupun generasi anak-cucu-nya sudah berlalu, sekarang merupakan tanggungjawab kaum mukmin untuk mengamalkannya. Rangkaian ayat [135-141] memberikan penegasan posisi umat Islam sebagai penerus agama Ibrahim dan mengulang peringatan mengenai pertanggungjawaban umat ini terhadap risalah yang diembannya.
(Bersambung ke bagian ke-3)
1 thought on “Koherensi Tematis dalam Tafsir Al-Azhar Buya Hamka, Studi Kasus Surat Al-Baqarah (Bagian 2)”