Pendahuluan
Koherensi tematis merupakan padu dan harmonisnya pokok pikiran-pokok pikiran yang diungkapkan dalam sebuah wacana (pembicaraan). Dari literatur ilmu-ilmu Al Qur’an, pencarian terhadap koherensi tematis terhadap surat-surat dalam Al Qur’an menjadi topik bahasan tersendiri. Beberapa penafsir modern secara eksplisit mencoba mengungkapkan koherensi itu dalam sebuah studi kasus, misalnya apa yang dilakukan oleh Syaikh Muhammad Abdullah Darraz dalam studinya mengenai koherensi tematis dalam surat Al Baqarah pada buku beliau An Naba Al Azhim. Sebagian penafsir bahkan menjadikannya sebagai bagian metodologis dalam rangka penafsiran mereka, misal Amin Ahsan Islahi dari Pakistan dalam Tadabbur-i-Qur’an.
Apakah Buya Hamka dalam Tafsir Al Azharnya juga mengungkapkan koherensi tematis dalam penafsirannya ? Kita dapat menjawab secara positif atas pertanyaan di atas melalui beberapa fakta berikut.
- Ketika menafsirkan sebuah surat Buya Hamka membaginya menjadi unit-unit kuantitatif tertentu (penggalan-penggalan). Ada unit yang berisi satu ayat, dua ayat atau lebih. Pembagian unit-unit kuantitif ini secara implisit memberikan kesan adanya satuan tema yang dibahas.
- Setiap kali mengawali penafsiran sebuah surat, atau mengawali pembahasan dalam sebuah juz, Buya Hamka memberikan keterangan mengenai konteks sejarah maupun rangkaian tema yang muncul dalam surat atau juz itu. Pada awal tafsir juz 1 Buya Hamka mengungkapkan konteks sejarah munculnya masyarakat muslim di Madinah yang menjadi latar bagi ayat-ayat dalam surat Al Baqarah.
- Dalam memulai penafsiran dalam unit-unit kuantitatif tertentu secara eksplisit mengaitkannya dengan tema sebelumnya. Sebagai contoh ketika menafsirkan surat Al Baqarah ayat 168-171 mengenai soal makan beliau menautkan tema ini dengan tema unit kuantitatif sebelumnya (ayat 165-167) yang berbicara mengenai kezaliman yang dialami diri manusia karena mengikuti orang lain secara membuta. Beliau menyatakan diantara sebab orang melakukan penipuan atas orang lain (para agamawan yang menipu awam) adalah karena sebab soal makan.
- Buya Hamka kadang dihadapkan oleh problem seolah-olah ada loncatan tematik pada satu unit. Sekilas ditemukan kesulitan mengaitkan tema dalam unit ini dengan unit sebelumnya, walaupun menurut beliau tukikan mendalam ke dalam pembacaan Al Qur’an membuktikan bahwa problem ini hanya semu saja (tidak riil). Misal dalam penafsirannya terkait ayat 238-239 yang berbicara mengenai menjaga salat wusta, setelah rangkaian ayat-ayat sebelumnya berbicara mengenai seluk beluk hukum pernikahan (talak, rujuk, iddah dsb) dan kemudian di ayat selanjutnya (setelah ayat 239) bicara kembali dengan topik hukum (wasiat). Menurut Buya Hamka, tema kunci yang menautkan rangkaian ayat ini adalah masalah takwa.
Tulisan ini berupaya secara induktif mengungkap secara eksplisit rangkaian dan kepaduan tema-tema dalam penafsiran Buya Hamka atas surat Al Baqarah. Tema-tema akan dikelompokkan, diabstraksikan dan dirampatkan (generalisasikan) sehingga membentuk tema yang lebih umum. Upaya ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami tafsir Al Azhar karya beliau.
Unit Kuantitatif
Buya Hamka membagi unit-unit penafsirannya (atas surat Al Baqarah) dengan cara mengelompokkan ayat-ayat ke dalam unit-unit tertentu. Unit-unit ini memiliki panjang yang beragam, yang terpendek 1 ayat, sedangkan yang terpanjang 8 ayat. Surat Al Baqarah secara kesuluruhan dikelompokkan menjadi 82 unit (kelompok). Berikut ini adalah tabel yang menabulasi frekuensi masing-masing unit.
Unit yang terdiri dari 8 ayat hanya 1, yaitu rangkaian ayat 67-74. Sedangkan unit yang terdiri atas 1 ayat berjumlah 7 unit, yaitu ayat 177, 188, 189, 255, 258, 284.
Subjek Surat
Indikasi mengenai subjek (pokok pembahasan, tema global) surat Al Baqarah dapat dilihat pada pengantar Buya Hamka ketika memulai penafsiran. Konteks sejarah turunnya ayat-ayat dalam surat Al Baqarah adalah berdirinya masyarakat Islam di Madinah dan tantangan yang dihadapi. Menurut beliau ada dua tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Islam ketika itu, tantangan ke dalam (internal) dan tantangan keluar (eksternal). Tantangan keluar terkait dengan interaksi dengan komunitas ahli kitab (komunitas Yahudi secara khusus) dan kaum musyrik Quraisy, tantangan secara keyakinan, pemikiran maupun kekuatan militer. Tantangan kedalam terkait dengan pembangunan masyarakat Islam sendiri, yang mencakup identitas hingga penataan hukum.
Melalui penautan rangkaian tema dan subtema yang akan dirinci di bawah dengan konteks sejarah di atas, kita dapat membagi subjek atau tema besar pembahasan surat ini (melalui pengungkapan pada tafsir Al Azhar) ke dalam dua tema besar (subjek); subjek terkait dengan hakikat beragama dan subjek terkait dengan pembentukan umat (masyarakat islam). Dua subjek ini bertepatan dengan dua dimensi kehidupan manusia, dimensi individu dan dimensi sosial. Subjek hakikat beragama terkait dengan dimensi individu manusia; mengenai tipologinya, misi kehidupannya, keyakinan beragamanya, penyakit yang dapat menimpanya (dalam pemikiran maupun praktek keagamaan). Subjek pembentukan umat (masyarakat islam) terkait dengan dimensi sosial manusial; mengenai identitas kolektif mereka, kohesi sosial mereka, aturan hukum yang berlaku maupun kode etik interaksi mereka dengan komunitas lain. Tabel di bawah ini memetakan subjek, beserta dimensi dan rangkaian ayat.
Subjek pertama dominan pada juz 1, subjek kedua dominan pada juz 2 dan 3. Perlu diperhatikan bahwa pembahasan pada subjek Hakikat Beragama tidak berarti tidak ada pembahasan dari tema-tema lain dari tema besar Pembentukan Umat. Begitu pula sebaliknya. Misalnya, selama ini kita memahami salat dan zakat merupakan bagian dari tema hukum syari’at; tetapi pembahasan ini tersebar pula pada rangkaian ayat 1-141. Begitu pula pembahasan mengenai aspek keimanan, tersebar pada rangkaian ayat 142-286.
(bersambung ke bagian ke-2)