Ungkapan di atas adalah salah satu tajuk dalam buku otobiografi Ajip Rosidi yang super tebal (lebih dari 1250 halaman), Hidup Tanpa Ijazah. Dalam tajuk itu beliau menuliskan pengalaman beliau pada tahun 1981 ketika mengusulkan kepada tokoh-tokoh teman seangkatan Sjafruddin Prawiranegara, yang saat itu bernaung di DDII, untuk membuat buku biografi Pak Sjafruddin. Usul yang dipandang penting karena ketokohan dari Pak Sjafruddin. Sjafruddin Prawiranegara merupakan Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) kala agresi Belanda ke-2 1948. Usulan itu direspon dengan baik.
Selanjutnya dalam sebuah rapat diputuskan untuk menerbitkan dua buku terkait Pak Sjafruddin. Ajip mengusulkan seorang doktor, ahli sejarah dari Unpad guna menulis biografi Sjafruddin Prawiranegara. Salah seorang peserta rapat menolak dengan alasan, “Dia bukan orang kita”. Dalam benak, Ajip Rosidi bertanya apakah maksud “bukan orang kita”, apakah : bukan anggota Masjumi, atau bukan mantan mahasiswa yang dekat dengan keluarga besar Masjumi, bukan anggota PII atau yang terafiliasi. “Tapi dia ahli sejarah yang niscaya terlatih dalam pengumpulan data melalui penelitian dan lain-lain. Saya kira dia orang yang tepat.” Penolak tetap bergeming dengan pendapatnya. “Kalau dia dianggap bukan orang kita, bagaimana kalau saya menjamin bahwa pandangan keimanan dan keyakinan politik (“Ahli Sejarah”) tidak berbeda dengan kita ?”. Penolak tetap bergeming dengan pendapatnya.
Ujung kisah dalam tajuk ini menceritakan kegagalan penulisan biografi Pak Sjafruddin itu dengan beragam kendala teknis. Dalam tajuk yang lain, pada akhirnya Ajip Rosidi sendiri yang menggarap pada tahun 1986. Biografi itu berjudul, Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah SWT.