“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar Ra’d 11, Terjemah Depag edisi 2002).
Ayat di atas sering dikutip guna memotivasi perubahan. Umumnya kita memahami perubahan dimaknai dengan perubahan (diri) dari kondisi buruk menjadi kondisi yang lebih baik. Bagaimanakah para penerjemah (penafsir) di negeri kita memahaminya ? Apakah perubahan dalam konteks ini perubahan dari negatif menuju positif atau sebaliknya dari positif menuju negatif ?
Klausa, hatta yughayyiru ma bi anfusihim, ditemukan juga dalam surat Al Anfal (8) ayat 53. “Yang demikian itu karena sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu nikmat yang telah diberikan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.” (Terjemah Depag edisi 2002). Apakah perubahan diri di sini memiliki makna yang sama dengan ayat surat Ar Ra’d ayat 11 di atas ?
Terjemah Depag edisi 2002 tidak memberikan catatan kaki untuk terjemah surat Ar Ra’d (13) ayat 11. Tetapi, edisi 1971 yang luas tersebar memberikan catatan kaki (nomer 768) sebagai berikut : “Tuhan tidak akan merobah keadaan mereka, selama mereka tidak merobah sebab-sebab kemunduran mereka.” Arah perubahan di sini adalah dari negatif menuju positif.
Catatan kaki untuk terjemah surat 8:53 pada edisi 1971, nomer 621 sebagai berikut : “Allah tidak mencabut ni’mat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap ta’at dan bersyukur kepada Allah.”
Disini dapat dipahami, tetapnya nikmat jika tetap ta’at dan syukur. Jika lawannya yang muncul maka nikmat akan dicabut. Jadi perubahan diri di sini adalah dari positif ke negatif.
A. Hassan dalam Tafsir Al Furqan, menerjemah surat 13:11 dengan “sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada di satu kaum, sehingga mereka ubah apa yang ada di diri mereka (sendiri).” Beliau menambahkan catatan kaki (nomer 1569) sebagai berikut : “ Allah tidak akan ubah keadaan satu kaum, melainkan sesudah orang-orang yang di dalam kaum itu mengubah keadaan diri mereka sendiri, yang berarti kemuliaan satu kaum, dengan tanggungan Allah, akan datang, apabila orang-orangnya telah memperbaiki diri masing-masing. Perhatian : Ayat ini sering diberi arti yang tidak sebagaimana mestinya.”
Dari kutipan di atas, arah perubahan diri adalah dari negatif ke positif. Agak sulit memahami apa yang diacu oleh peringatan yang beliau berikan pada catatan kaki di atas.
Tidak ada catatan kaki mengenai tafsir 8:53. Kita dapat berasumsi sesuai dengan makna tekstualnya, perubahan di sini dimaknai dari positif ke negatif.
Tafsir Al-Quran, H. Zainuddin Hamidy-Fachruddin Hs, menerjemahkan 13:11 dengan “Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum, sebelum mereka merobah keadaan mereka sendiri”. Catatan kaki terkait ayat ini sebagai berikut : “Sebab itu setiap kaum (bangsa) hendaklah berusaha merobah kehidupannya ke arah yang lebih baik, dengan segenap tenaga dan usaha yang dapat dicapainya, dan janganlah menyerahkan dirinya kepada nasib dan keadaan”.
Perubahan dari catatan kaki di atas dimaknai dari negatif ke positif.
Tidak ada catatan kaki mengenai tafsir 8:53. Kita dapat berasumsi sesuai dengan makna tekstualnya, perubahan di sini dimaknai dari positif ke negatif.
Tafsir Qur’an Karim, Mahmud Yunus, menerjemahkan 13:11 dengan, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, kecuali jika mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Mahmud Yunus memberikan keterangan: “Dalam ayat ini jelaslah, bahwa Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum, jika mereka sendiri tidak mengubah budi pekertinya. Umpamanya kaum yang suka berpecah-belah dan bermusuh-musuhan terhadap sesamanya, maka pastilah kaum itu mundur dalam segala-galanya, baik dalam pergaulan, ekonomi atau pemerintahannya. Keadaannya tidak akan diubah Allah, jika mereka sendiri tidak mengubah budi pekertinya terlabih dahulu. ..”
Terkait surat 8:53, beliau memberikan keterangan, “..Tetapi bila kaum itu telah menyeleweng, berbohong, korupsi, dan kezaliman telah merajalela, perpecahan antara golongan-golongan telah menjadi-jadi, maka nikmat itu akan dilenyapkan Allah dari kaum itu. Kemakmuran berganti dengan penderitaan, keamanan bertukar dengan kekacauan, kekayaan berganti dengan kemuskina, kekuatan bertukar dengan kelemahan…”
Jadi arah perubahan (diri) dalam 13:11 negatif ke positif, sedangkan pada 8:53 positif ke negatif.
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka, menerjemahkan 13:11 dengan, “Sesungguhnya Allah tidaklah akan mengubah apa yang ada pada satu kaum, sehingga mereka ubah apa yang ada pada diri mereka (sendiri).” Dalam penafsirannya, “Inilah ayat yang terkenal tentang kekuatan dan akal budi yang dianugerahkan Allah kepada manusia sehingga manusia itu dapat bertindak sendiri dan mengendalikan dirinya sendiri di bawah naungan Allah. Dia berkuasa atas dirinya dalam batas-batas yang ditentukan oleh Allah. Sebab itu manusia itu pun wajibla berusaha sendiri pula menentukan garis hidupnya, jangan hanya menyerah saja dengan tidak berikhtiar.” Pada penafsiran mengenai ujung 11, beliau menyatakan, “Kekayaan jiwa yang terpendam dalam batin kita, tidaklah akan menyatakan dirinya keluar, kalau kita sendiri tidak berikhtiar dan berusaha. … Kita harus berusaha sendiri merubah nasib kepada yang lebih baik, mempertinggi mutu diri dan mutu amal, melepaskan diri dari perbudakan dari yang selain Allah. .”
Sedangkan mengenai surat 8:53 Buya Hamka menjelaskan konteks nikmat tercukupinya makan dan keamanan (dalam niaga) yang diberikan kepada Quraisy. Alih-alih menerima seruan Rasulullah, mereka justru menentang. Maka nikmat diubah Tuhan menjadi niqmat, anugerah menjadi kutuk.
Pada Buya Hamka, arah perubahan 13:11 dari negatif ke positif , sedangkan 8:53 dari positif ke negatif.
Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, dalam Tafsir An Nuur, menerjemahkan 13:11 dengan, “sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan yang telah ada pada sesuatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang telah ada pada diri mereka.” Beliau memberikan keterangan sebagai berikut ini. “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nikmat dan afiat yang telah diberikan kepada suatu kaum atau dihilangkan dari mereka, kecuali kaum itu mengubah keadaan dirinya dari yang baik diganti dengan yang buruk dan satu sama lain dari mereka saling menganiaya. Jika mereka telah meninggalkan kebajikan dan amalan saleh yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, maka keadaan mereka pun diubah dari keadaan merdeka menjadi terjajah”.
Sedangkan mengenai penafsiran 8:53, beliau menjelaskan : “Azab yang menimpa orang Quraisy itu karena mereka mengufuri nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya. Demikianlah sunnah Allah, yaitu tidak menimpakan azab kepada suatu kaum, kecuali (ada) sebabnya. Allah mempunyai suatu sunnah : tidak mengubah nikmat yang telah diberikan kepada seseorang sebelum orang yang menerima nikmat itu mengubah keadaaannya. Selama orang yang mendapat nikmat tetap beri’tikad murni, berakhlak luhur, dan beramal baik, nikmat itu tetap diperoleh. Tetapi apabila mereka telah mengubah keadaan, barulah Allah mencabut nikmat-Nya.”
Disini tampak Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, secara konsisten memaknai arah perubahan (diri) di kedua ayat di atas sebagai perubahan dari positif ke negatif.
Tafsir Klasik, Jalalain dan Ibnu Katsir
Bagaimana dengan penafsiran para mufasir klasik terkait ayat 13:11. Dalam terjemah Tafsir Jalalain disebutkan, “(Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum) artinya Dia tidak mencabut mereka dari nikmat-Nya (sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri) dari keadaan yang baik dengan melakukan perbuatan durhaka.”
Jelas di sini arah perubahan adalah dari positif ke negatif. Ini juga konsisten (dalam tafsir Jalalain) dengan penafsiran terkait dengan ayat 8:53. Pada ayat 8:53 arah perubahan juga dari positif ke negatif.
Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan makna “innallah la yughayiru ma bi qaumin hatta yughayiru ma bi-anfusihim”, dalam 13:11, mengutip pendapat mengenai perkataan salah satu penafsir yang meriwayatkan perkataan salah seorang Nabi dari Bani Israel, “Hendaklah kamu katakan kepada kaummu bahwa warga desa dan anggota keluarga yang taat kepada Allah tetapi kemudian berubah berbuat maksiat atau durhaka kepada Allah, pasti Allah akan merubah dari mereka apa yang mereka senangi menjadi sesuatu yang mereka benci.” Seraya mengatakan hal itu dibenarkan dalam kitab Allah dengan firman-Nya, “innallah la yughayiru ma bi qaumin hatta yughayiru ma bi-anfusihim.”
Pada tafsir terkait 8:53, beliau menyatakan, “Allah memberitahukan tentang keadilan-Nya yang sempurna dalam ketetapan hukum-Nya. Di mana Allah tidak akan merubah nikmat yang dikaruniakan kepada seseorang, melainkan karena dosa yang dilakukannya.“
Tafsir Ibnu Katsir secara konsisten memaknai arah perubahan diri pada dua ayat di atas dari positif ke negatif.
Kesimpulan
Terjemah – Tafsir | Arah Perubahan Diri |
Depag (edisi 1971) | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Positif – Negatif |
Tafsir Al Furqan, A. Hassan | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Positif – Negatif |
Tafsir Al-Quran, H. Zainuddin Hamidy-Fachruddin Hs | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Positif – Negatif |
Tafsir Qur’an Karim, Mahmud Yunus | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Positif – Negatif |
Tafsir Al-Azhar, Buya Hamka | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Positif – Negatif |
Tafsir An Nuur, Muhammad Hasbi ash-Shidieqy | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Negatif – Positif |
Tafsir Jalalain | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Negatif – Positif |
Tafsir Ibnu Katsir | 13:11 Negatif – Positif
8:53 Negatif – Positif |
Penafsiran Muhammad Hasbi ash-Shidieqy memberikan makna yang sama terkait dengan makna arah perubahan diri, dengan penafsir klasik Jalalain maupun Ibnu Katsir.
Rujukan
Terjemah Depag edisi 1971, Cetakan Saudi
Tafsir Al Furqan, A. Hassan, Penerbit Persatuan,1406 H
Tafsir Quran, H. Zainuddin Hamidy-Fachruddin Hs, Klang Book Centre, 1988
Tafsir Qur’an Karim, Mahmud Yunus, ahmud Yunus Wa Dzuriyah, 2015
Tafsir Al Azhar, Buya Hamka, Pustaka Panjimas, 1984
Tafsir An Nuur, Jilid 3, Muhammad Hasbi ash-Shidieqy, Pustaka Rizki Putra, 2000
(Terjemah) Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Pustaka Imam Syafi’i, 2005
(Terjemah) Tafsir Jalalain, Jilid 1, Sinar Baru Algensindo, 2008