Kali pertama membaca tautan psikologi dagang dengan ibadah, ketika membaca uraian (syarah) mengenai hadist arbain nomer satu mengenai niat oleh Imam Nawawi sendiri. Tercatat disana uraian tentang tiga keadaan amal (ibadah) terkait dengan niat. Ibadah layaknya sebagai budak, yang penuh rasa takut. Ibadah layaknya sebagai pedagang, yang mencari untung (surga dan pahala). Ibadah sebagai penunaian rasa syukur.
Tautan kedua, ketika membaca apa uraian Haji Agus Salim ketika membahas masalah ikhlas dalam bukunya yang mengurai filsafat tauhid, takdir dan tawakal pada bagian lampiran. Beliau mengurai, bahwa niat disyaratkan ikhlas. Ikhlas berarti tidak mengharap pujian orang lain. Lawannya adalah riya. Ikhlas berarti karena Allah. Berbuat karena Allah merupakan keutamaan dalam berbuat. Keutamaan ini berkebalikan dengan laku transaksional (jual beli) dalam beribadah.
Tautan ketiga saya jumpai dalam Hidup Tanpa Ijazah karya Ajip Rosidi yang super tebal pada bagian akhir Tanya Jawab Diri Sendiri. Kita kutip di sini. “(+) Sejak belasan tahun kau bukan saja taat menjalankan ibadah wajib sehari-hari, tetapi juga melaksanakan salat sunat tahajud dan salat duha di samping puasa Nabi Daud, apakah kau punya kehendak yang ingin dikabulkan Tuhan ? (-) Aku tidak berniat jual-beli dengan Tuhan: melakukan ibadah agar ditukar dengan sesuatu yang kuinginkan. Aku melaksanakan semua ibadah, baik yang wajib maupun yang sunat, hanya karena ingin melakukan ibadah sebaik mungkin seperti dicontohkan oleh Rasulullah.”
Tiga kutipan di atas menilisik jauh ke dalam diri kita, psikologi diri kita sendiri ketika menjalankan laku ibadah. Tuhan tentu saja tidak memerlukan ibadah kita. Tentunya ibadah-ibadah kita tidak bisa berlaku seperti upah atau bahkan (nauzubillah) semacam gratifikasi (suap) bagi Tuhan agar memberikan apa yang kita inginkan. Pemberiaannya adalah karena rahman dan rahim-Nya.