Ini merupakan eksposisi tematis, sekaligus ikhtisar, pembahasan Syaikh Muhammad Abdullah Darraz dalam artikelnya, yang berjudul Nazarat fi fatihatil kitabil hakim, yang saya dapatkan dalam penelusuran di internet pada arsip salah satu majalah dari Mesir (saat ini saya tidak dapat melacak kembali lokasinya ), tetapi dokumentasi digital dalam bentuk file pdf dapat di-unduh melalui link berikut nazarat_fi_surah_alfatih_m_a_darraz , file ini merupakan hasil konversi yang saya lakukan dari file image arsip artikel majalah di atas).
Beliau memulai pembahasan dengan ungkapan yang bermakna bahwa sebaik-baik hal untuk mengawali sebuah tindakan, hal yang dapat menyukseskan sasaran kita adalah orientasi kepada Allah, pujian kepada-Nya, berbekal dengan pertolongan-Nya dan berilham dengan hidayah-Nya. Demikianlah yang digariskan oleh Al Fatihah.
Dua sudut pandang dapat digunakan untuk memahami Al Fatihah, satu sudut pandang terkait materi (tema) dan tujuan dari Al Qur’an, yang kedua terkait dengan dimensi pesan komunikasinya.
SUDUT PANDANG MATERI DAN TUJUAN
(1) ASPEK ILAHIAH
Tujuan Teoritis yang disasar oleh surat ini adalah mengenal kebenaran (haq) dan mengenal kebaikan (khair). Sedangkan tujuan praktis, yang merupakan buah dari pengenalan secara teoritis sebelumnya, yaitu memahami, memeluk kebenaran itu dan mengerjakan, komitmen terhadap kebaikan.
Tujuan asasi, secara teoritis, dari Qur’an adalah mengenalkan kita kepada hakikat tertinggi, kemudian mendaki kepada-Nya melalui pendakian melalui pengenalan hakikat-hakikat lainnya. Dengan kata lain, mengenalkan kepada kita kepada Allah dan sifat-sifat-Nya melalui jalan mengarahkan (orientasi) pandangan (indra dan nalar) kita kepada ayat-ayat-Nya pada kerajaan langit dan bumi : pada penciptaan manusia, hewan dan tumbuhan; pada peredaran matahari, bulan dan gemintang; pada pembentukan awan; pada penundukan burung; pergerakan angin; pada fenomena hidup dan mati; dan terhadap segenap fenomena kejiwaan dan alam yang berada di luar kehendak kita, dan kehendak benda-benda lain.
Akal yang bersih tidak mampu menafsirkan eksistensi semua itu, tidak juga kontinuitas eksistensinya, keserasiannya, ketetapannya serta kesatuan sistem yang mengaturnya; kecuali dengan wujud kekuatan yang berakal, berkuasa, mengatur secara bijaksana, menggenggam semua urusan keseluruhannya, mengarahkan keseluruhan alam ke dalam keserasian; fenomena yang satu dan terpisah maupun fenomena yang plural dan beragam. Sebuah keserasian penciptaan yang tidak dapat diserahkan kepada kebetulan sedetik saja, atau diserahkan kepada kekuatan yang buta dan tuli, tanpa akal; atau diserahkan kepada kekuatan yang keras tanpa cinta, atau kepada kekuatan yang main-main, tanpa sasaran dan tujuan.
Al Qur’an ketika mengarahkan kita untuk meneliti ciptaan-Nya, tidak hanya mengarahkan pada fenomena saat ini saja (dimensi waktu sekarang), tetapi juga mengarahkan kita untuk memahami dimensi waktu masa lalu dan masa mendatang; pada awal dan akhirnya. Juga mengarahkan pada fenomena individu dan sosial; di fenomena yang lampau maupun proyeksi masa depan, pada kontinuitasi eksistensinya (sejarah) maupun keruntuhannya, pada nikmat yang diterima oleh manusia (individu maupun sosial) dan hukuman yang menimpanya.
Pandangan komprehensif pada fenomena ciptaan Allah di dalam jiwa manusia dan horizon semesta ini; merupakan metode makrifat kepada Allah melalui sudut keadilan dan keutamaan-Nya (adl dan fadl) dan sudut keagungan dan keindahan-Nya (jalal dan jamal).
Jika ini memenuhi jiwa seseorang, akan muncul sikap perilaku yang diorientasikan kepada Hakikat suci dan tinggi ini, sikap tunduk dan khusuk di hadapan keadilan dan keaguangan-Nya (adl dan jalal) dan sikap loyal dan cinta di hadapan pelimpah kenikmatan (fadl) dan keindahan (jamal). Hal ini merupakan ruh ibadah.
Dengan demikian Pokok Teoritis yang pertama adalah mengenal Allah. Pokok Praktis yang pertama, yang merupakan buah dari mengenal Allah, adalah ketundukan kepada-Nya. Al Qur’an menerangkan kedua pokok ini secara rinci, sedangkan Al Fatihah menerangkannya secara global. Pada bagian awal (alhamdu ..maliki ) merupakan pokok makrifat. (iyyaka ..) merupakan mauqif amali, sikap perilaku yang merupakan buah dari makrifat di atas.
Dengan fokus pada aspek Ilahiah, skema di atas dapat kita tuangkan kembali menjadi sbb:
Permata-Permata Makna
- Rukun akidah diuntai secara tertib dan jelas awal , pertengahan dan akhir. Rabbul ‘Alamin, Ar-Rahman Ar Rahim, Maliki Yaumiddin. Tauhid, Nubuwah, Jaza.
- Konsep Rabbul ‘alamin, bukan tuhan kabilah maupun suku, bukan tuhan kebaikan atau kejahatan, bukan tuhan cahaya atau kegelapan semata; tetapi Tuhan seluruh alam (makhluk yang tersembunyi maupun terungkap dalam ilmu kita); yang menciptakannya secara evolutif, yang menyampaikan pada tujuannya, memenuhi kebutuhannya, sebagai murabbi atas segala sesuatu, dengan tarbiyah (pendidikan) secara zahir maupun batin.
- Arrahman Arrahim, Dia tidak hanya memiliki satu jenis rahmat saja, tetapi dua rahmat yang dijelaskan Quran : rahmat yang meluas meliputi segala sesuatu dan rahmat yang khusus bagi yang dikehendaki-Nya Rahmat pertama meliputi seluruh insan, bukan sekedar nikmat wujud, hidup, rizki dan materi semata; bukan hanya nikmat petunjuk fitriah; tetapi juga nikmat petunjuk samawi dengan diutusnya Rasul ke seluruh bangsa. Sebuah rahmat asasi dan umum, dengannya Dia Maha Rahman. Rahmat kedua, rahmat khusus dan terikat, diberikan kepada yang berhak. Ini adalah rahmat pemilihan, pemberian pimpinan, pengarahan, taufik dan bimbingan. Rahmat tambahan pemberian nikmat sebelumnya –rahmat jenis umum. Dengannya Dia Maha Rahim. Dalam bentangan dua rahmat ini berdiri rukun kedua akidah, rukun nubuwah.
- Maliki yaumiddin, rukun akhir (ma’ad) dalam akidah.
Keterkaitan Antar Bagian
- Antara Al Hamdulillah dengan Iyyakana’budu. Ibadah adalah ujung akhir kesimpulan. Pujian adalah pendahuluannya. Posisi pujian adalah posisi (manzilah) pembuktian (burhan) bagi seruan ibadah. Sedangkan posisi ibadah adalah posisi gerak yang diinginkan.
- Dari penjelasan aspek teoritis di atas (baik mengenai Allah dan metode mengenal-Nya), sikap perilaku yang muncul dari kesandaran ini adalah munculnya perhatian kita, muncul harapan dan rasa gentar kita kepada Allah; yang menggerakkan lisan secara khusu’ mengucapkan pengakuan bagi-Mu ibadat yang aku sembahkan. Saat kesadaran itu muncul, kesadaran lain juga mengimbangi bahwa semua (makhluk) tunduk patuh pada-Nya. Sehingga ungkapan yang tepat adalah “hanya kepada-Mu kami menyembah”
- Mengapa kita perlu juga mengungkapkan “hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan”, bukankah saling menolong adalah kebutuhan hidup manusia ? Benar, tetapi kepada siapa kita memohon sesuatu yang di luar kemampuan siapapun dari makhluk-Nya ? Siapa yang menggerakkan kita untuk saling menolong ? Siapa juga yang memudahkan kita mendapatkan wasilah-wasilah untuk saling menolong ? Siapa pula yang menetapkan hasil pertolongan makhluk ?
- Dua kalimat ini, iyyakana’budu waiyyaka nasta’in, membatalkan syirik, syirik dalam ibadah dan syirik dalam istia’anah dan isytisyfa’ (meminta syafaat) dengan sesuatu/seseorang yang tidak diijinkan Allah. Dua kalimat ini juga membatalkan akidah yang menyimpang; keyakinan jabariyah yang mengikari kemampuan dan tanggungjawab manusia; dan membatalkan akidah kebebasan (kemampuan) manusia untuk melakukan semuanya an-sich, yang merasa tidak memerlukan pertolongan dari Tuhan. Maka kita beramal dan bertawakal, beribadah dan ber-istia’anah. Beribadah dahulu, beristi’anah kemudian, penuhi kewajiban baru meminta hak.
(2) ASPEK INSANIAH (ETIKA MORAL)
- Aspek Insaniah (Etika Moral). Menurut Syaikh M.A. Darraz, Al Qur’an menggunakan konstruksi metodologis yang menggabungkan nilai esensial (dzati) dan nilai utilitas terhadap akhlak dan aspek etis perilaku manusia. Pendekatan nilai secara esensial yang menyasar hati nurani (dhomir) manusia, dengan menyeru kepada keutamaan sebagai keutamaan (exellence); yang tergambar dalam keindahan dan moderasi, dan melarang yang buruk atas nama keburukan, dari kotoran maupun penyimpangan. Sedangkan pendekatan nilai secara utilitas, yang menyasar pada emosi; memberi kabar baik (targhib) pada keutamaan dan kecaman (tarhib) terhadap kejelekan, atas nama maslahah hakiki.
- Hal yang luar biasa dari Al Fatihah, menurut Syaikh Darraz, dalam konteks ini, adalah pada singkatnya ungkapan yang digunakan, yang merangkum semua itu hanya dalam dua kalimat. Ketika jalan keutamaan merupakan landasan Al Fatihah menerangkannya pertama kali nilai esensial ini dengan menyifati jalan itu dengan moderasi dan kelurusan (shiratul mustaqim); kemudian diterangkan aspek manfaat (nilai utilitas) dengan menyifatinya sebagai jalan yang menyampaikannya pada keridaan Allah dan nikmat dari-Nya dan memberi isyarat sejarah pada saat yang sama pada perjalanan mereka yang mengarungi jalan lurus itu (shiratallazina an’amta ‘alaihim). Kemudian menetapkan standar untuk menilai penyimpangan dari jalan itu, dengan menjelaskan dua jenis penyimpangan (inhiraf);
- penyimpangan pada tujuan (qashd) dan ilmu, karena keras kepada , kesombongan dan mengikuti hawa nafsu; ini merupakan jalan al maghdubi ‘alaihim; mereka yang melihat jalan yang lurus ini tetapi tidak mau menempuhnya, melihat jalan yang menyimpang kemudian menempuhnya
- penyimpangan dari kebodohan (jahl), adalah jalan mereka yang sesat (dholin); mereka yang tidak mencari pemecahan atas keraguan internal mereka, justru mengikuti apa yang tidak ada pengetahuan mereka atasnya, berbicara secara serampangan
keyakinan dan keterangan.
SUDUT PANDANG MODE KOMUNIKASI
Sudut pandang mode komunikasi antara al Fatihah dan Al Qur’an. Surat Fatihah adalah surat satu-satunya yang menempatkan pokok urusan dalam lisan bukan dalam bahasa rububiyah; seakan sebagai gerak jiwa-bersama-manusia ke arah langit; sedang surat-surat lain merupakan gerak kebalikannya (gerak rahmat dan risalah) dari langit ke bumi. Dari sudut pandang lain, Al Fatihah adalah permohonan, surat-surat lain adalah jawaban. Al fatihah meminta petunjuk, surat-surat lain adalah petunjuk (yang diminta).