Jika orang belum pernah melakukan studi Al Qur’an sebelumnya, tetapi dengan latar belakang pembacaan terhadap buku-buku dengan beragam topik yang dibaca sebelumnya, akan terkejut ketika mendapatkan sistematika susunan Al Qur’an. Al Qur’an adalah buku yang unik dalam sistematika penyusunannya, berbeda dengan buku-buku pemikiran atau agama yang ditulis oleh manusia. Mendekati Al Qur’an dengan menganggapnya seperti buku biasa pada umumnya akan membuat kita gagal menemukan mutiaranya. Jika buku-buku pada umumnya berkisar pada pokok tema dan disusun secara sistematis ke dalam bab-bab yang spesifik membahas detail-detail tema itu, tidak demikian dengan Al Qur’an. Sepintas justru akan didapati topik-topik beragam yang tertebar di sana-sini, perpindahan dari satu topik ke topik yang lain secara cepat, perubahan modus pembicaraan yang juga berubah-ubah. Hal ini, jika kita tidak memahami kekhasan Al Qur’an, akan membuat kita justru menduga tidak adanya koherensi antara satu bagian dengan bagian lain dalam Al Qur’an. Demikan pula dengan gaya yang digunakan; pembicaraan mengenai substansi keyakinan keagamaan tidak megunakan model penalaran skolastik atau penalaran logika formal yang kering, aspek legalnya juga tidak disusun seperti sebuah kitab Undang-Undang, pembicaraannya mengenai pengetahuan alam tidak menggunakan model pembicaraan buku-buku Ilmu Pengetahuan. Dengan demikian perlulah dipahami bahwa Al Qur’an bukanlah buku-buku pemikiran ataupun doktrin keagamaan pada umumnya, ia memiliki keunikan dalam gaya maupun sistematikanya. Menganggapnya seperti buku-buku biasa justru akan menghalangi pemahaman mendasar kita atasnya.
Lalu bagaimanakah kita memahami subjek dan tema utamanya ? Bagaimana kita memahami sistematikanya ? Apa sasaran utamanya ? Aspek mendasar yang perlu dipahami sebelum menjawab pertanyaan itu adalah pertanyaan Siapa yang membuatnya ? Al Qur’an adalah wahyu yang diturunkan Tuhan kepada Rasul-Nya (Muhammad SAW). Kenyataan Al Qur’an yang bersumber Ilahiah inilah yang perlu ditegaskan sebelum kita memahami tema, subjek maupun sistematikanya. Posisi antara Tuhan, Rasul dan Wahyu-Nya dapat kita rekonstruksi melalui point-point berikut :
- Tuhan telah menciptakan alam semesta, dan menciptakan manusia di bumi. Dia memberikan kepada manusia kapasitas untuk memahami (merenung dan berpikir), dengan kemampuan untuk membedakan yang baik dan buruk, dan dengan kebebasan untuk memilih.
- Walaupun menikmati status demikian tinggi manusia harus memahami bahwa hanya Allah-lah Pencipta dan Penguasanya. Manusia hanya memiliki kekuasaan yang relative di hadapan Tuhan yang absolut. Kepada Allah manusia harus memberikan kepatuhan, ketaatan dan ibadahnya. Dalam konteks ini manusia diberikan kehidupan sementara di dunia, untuk kemudian mesti memberikan pertanggungjawaban kepada-Nya di akhirat.
- Untuk melaksanakan misinya di dunia ini, Tuhan membekalinya dengan petunjuk, sehingga manusia memulai kehidupannya tidak dengan kebodohan dan kegelapan. Jalan petunjuk itu disebut sebagai Islam.
- Melalui manusia pilihan (Rasul) Allah menurunkan petunjuk-Nya kepada manusia. Rasul-rasul telah diutus kepada manusia dalam setiap periode dan tanah yang berbeda-beda. Hingga pada akhirnya Allah mengutus Rasul-Nya yang terakhir (Muhammad) kepada seluruh umat manusia.
Subjek, Tema dan Tujuan
Melalui kenyataan ini kita bisa memahami bahwasanya subjek utama yang dituju oleh Al Qur’an adalah MANUSIA, yang kepadanya Qur’an berbicara mengenai yang mebuatnya sukses atau gagal dalam kehidupan ini. Tema utama kitab ini adalah memberikan petunjuk mengenai konsep-konsep mendasar dalam kehidupan manusia, bahwa konsep-konsep terkait Tuhan, Alam Semesta dan Manusia yang dikonsepsikan oleh pikiran manusiawi mereka pada hakikatnya bertentangan dengan kenyataan yang sesungguhnya; dan Al Qur’an memberikan konsep-konsep itu dalam terang realitas (hakikat) sesungguhnya. Sasaran utama dari kitab ini adalah mengajak manusia untuk menempuh jalan lurus, meneranginya dengan petunjuk dari-Nya. Jika kita memahami ketiga aspek dasar ini, pahamlah kita bahwa Al Qur’an tidaklah akan menyimpang dari subjek, tema utama dan sasaran mendasar ini. Apa yang kita temukan di dalamnya pembicaraan mengenai doktrin, filosofi, kepercayaan, moralitas, ilmu pengetahuan, kisah, hukum legal, sejarah tidak semata-mata untuk membicarakan itu saja tetapi untuk memberikan petunjuk, merubah salah konsepsi dan menerangkan hakikat medasar dari realitas.
Terkait dengan sistematikanya. Perlulah dipahami bahwa AL Qur’an tidak diturunkan sekaligus. Al Qur’an merupakan fenomena kenabian. Dalam terang gerak kenabian dalam menyampaikan pesan-pesan Tuhan inilah kita perlu memahami aspek-aspek sistematikanya. Qur’an mengadopsi gaya (style) yang menunjuki pergerakan Islam pertama melalui tahap-tahap pertumbuhannya (stage).
Tahap I
Pada awalnya Tuhan memilih Muhammad sebagai Rasul-Nya dan meminta Rasul itu menyampaikan pesan-pesan-Nya (berdakwah). Allah menurunkan kepadanya ayat-ayat yang berisi pengetahuan dasar yang diperlukan untuk melaksanakan tugas kerasulannya. Tiga tema pokok ayat-ayat pada periode ini :
- Memberi pelajaran kepada Rasulullah bagaimana ia menyiapkan diri untuk misi besarnya dan bagaimana ia mesti memulainya.
- Pengetahuan mendasar mengenai kebenaran dan sanggahan terhadap kesalahan konsepsi manusia tentang kebenaran itu.
- Manusia diajak untuk mengadopsi jalan hidup yang tepat yang terkandung dalam petunjuk ilahi
Sesuai karakater misionalnya ayat-ayat pada tahap ini diungkapkan secara ringkas, mudah dimengerti, bahasa yang indah dan menarik, mampu menembus hati manusia, irama dan melodinya mampu menarik perhatian. Warna lokal diungkapkan (mengenai kehidupan mereka sehari-hari) tetapi dengan tekanan nilai-nilai yang universal.
Tahap awal ini berlangsung kurang lebih selama 4-5 tahun awal; dan dari tahapan dakwah ini terbentuklah reaksi berikut :
- Sebagian manusia merespon dan mempercayai pesan yang disampaikan, dan tergabung dalam umat
- Sebagian besar menolak baik karena ketidaktahuan atau egoism peribadi mereka atau chauvinisme mereka kepada keyakinan nenek moyang mereka
- Dakwah Rasulullah tidak dibatasi pada kalangan Quraish saja, tetapi juga mulai bertemu dengan responsi yang melampaui batas Makkah.
Tahap II
Tahap kedua mulai terjadi pertarungan keras antara gerakan Islam dan jahiliyah Arab. Tidak sekedar Quraish menolak keyakinan Islam dan mempertahankan keyakinan yang mereka warisi tetapi mereka berusaha untuk menumpas dan menekan gerakan dakwah Rasulullah. Melalui propaganda palsu, mereka menyebarkan keraguan dan berita yang terdistorsi kepada umum. Mereka melakukan intimidasi, persekusi maupun boikot kepada kaum muslimin. Tetapi dakwah Islam tetap tumbuh dan berkembang. Di sisi lain, banyak tokoh-tokoh Quraish yang memeluk Islam, orang-orang yang berpengaruh besar dalam kehidupan mereka.
Dalam masa pertarungan ini pesan Al Qur’an banyak memberikan pesan yang membangkitkan ketabahan, meminta orang beriman untuk melakukan tugas dasar mereka, keluhuran akhlak, rasa persaudaraan, mengajar mereka tentang keimanan, janji kesuksesan di akhirat. Pada arah yang lain Qur’an mengecam keras penolakan orang-orang Quraish, mengancam mereka dengan tragedi pernah menimpa orang-orang terdahulu, bukti-bukti tauhid disampaikan, kelemahan syirik diungkapkan. Tahap II ini terdiri dari beberapa fase, dengan pesan dan style yang beragam dalam memberikan respons.
Tahap III
Tahap ketiga adalah tahap ketika kaum muslimin telah menegakkan kedaulatan Islam di Madinah. Pada periode ini Al Qur’an berbicara mengenai aspek keyakinan, dialog dengan komunitas lain, pembentukan komunitas Islam (ummah), hukum-hukum sosial politik. Pada periode ini pula Rasul mulai menyiapkan generasi untuk melanjutkan estafeta dakwah beliau.
Style dan Susunan Qur’an
Melalui pemahaman kita terhadap fase-fase perjuangan dakwah Rasulullah kita dapat memahami situasi di mana Al Qur’an memberikan bimbingannya secara nyata melalui peristiwa-peristiwa. Al Qur’an turun secara bertahap seiring dengan keperluan tahap-tahap dakwah yang dilalui gerakan Islam. Dalam konteks ini Qur’an berbeda dengan buku-buku pemikiran (semacam disertasi doktoral) yang memiliki sistematika dan koherensi tersendiri. Lagi pula Al Qur’an tidak terpublikasi selayaknya sebuah risalah ilmiah tetapi tersebar secara lisan, sebagai orasi atau khutbah; orasi panggilan seorang da’i bukan orasi guru besar ilmiah yang sedang memberi kuliah. Orasi Qur’an dengan demikian menyentuh baik akal maupun perasaan sekaligus. Dia merevolusi cara berpikir sekaligus menembus emosi. Pengulangan tema dalam Al Qur’an harus dipahami dalam konteks ini, karena urgensi tahapan turunnya. Meskipun demikian ekspresinya kita temukan dalam bentuk dan gaya yang berbeda-beda. Pada saat yang sama nilai-nilai keyakinan fundamental diberikan penekanan dalam setiap fase gerakan untuk menjadikannya selalu segar dalam pikiran.
Tetapi Al Qur’an tidak disusun berdasarkan secara kronologis, berdasar urutan turunnya. Penyusunan Al Qur’an sebagaimana kita saksikan sekarang, tentu saja berdasar wahyu, dilakukan sendiri oleh Rasulullah. Setelah misi mencapai kesuksesannya dan sebuah ummat terbentuk, umat memiliki karakteristik khasnya sendiri secara teoritis maupun praktis sekaligus ia mengemban tanggung jawab menyampaikan risalah kepada umat manusia sesudah Rasulullah. Sehingga bentuk susunan Al Qur’an tidak secara kronologis, tetapi tema-tema saling berbaur dalam satu surat, demikian pula yang Makkiyah dan Madaniyah. Hal ini memberikan perspektif yang integratif terhadap risalah Islam.
Studi-Interaksi Dengan Qur’an
Langkah praktis untuk melakukan studi Al Qur’an dapat dilakukan dalam dua langkah dasar berikut pertama melakukan pembacaan secara menyeluruh dari awal hingga akhir untuk mendapatkan pemahaman global dan integral terhadapnya. Kedua melalui studi tematik terhadap permasalahan-permasalahan yang kita ingin cari solusinya dalam Al Qur’an. Perlu diingat pula bahwa apresiasi yang lengkap terhadap spirit Al Qur’an menghendaki keterlibatan praktis dalam perjuangan menegakkan misinya. Al Qur’an bukanlah buku yang berisi teori abstrak atau doktrin yang bisa dipahami sambil lalu di atas kursi santai; ia bukan buku keagamaan biasa tetapi adalah sebuah petunjuk, guide, dari sebuah misi, pesan dan gerakan. Dalam keterlibatan dalam menegakkan pesan-pesan Al Qur’an dalam realitas kehidupan ini kita akan menemukan sebuah pengalaman yang mirip pengalaman ‘mistik’, Maududi menyebutnya sebagai ‘Pengalaman Mistik Qur’ani. Dalam setiap tahapan perjuangannya, kita akan menemukan bimbingan ayat-ayat Al Qur’an di sana. Mungkin saja seseorang gagal menemukan atau memahami kedalaman gramatikal atau aspek retorik dan semantiknya; namun bagi mereka yang terlibat aktif dalam perjuangan menegakkannya tidak mungkin gagal menginspirasikan spirit kebenarannya kepada dia.
Referensi
— Introduction, Towards Understanding The Qur’an. Abul A’la Al Maududi
— Dasar-Dasar Memahami Al Qur’an (Terj. Mabadi’ Assasiyyat Lifahmil Qur’an). Abul A’la Al Maududi. Fa. Al Muslimun. Bangil.