Dalam bukunya, Tujuh Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif, Steven Covey menjadikan kebiasaan terkait misi sebagai kebiasaan kedua. Kebiasaan itu diungkapkan dengan aforisme berikut ini, “Mulai dengan akhir dalam pikiran”. Misi berarti terkait dengan perencanaan diri. Membangun perencanaan sebelum atau membuat sesuatu merupakan kekhasan manusiawi, yang membedakannya dengan makhluk lain. Perilaku atau sebuah produk fisik terbentuk terlebih dahulu dalam pikiran, sebelum diwujudkan dalam kenyataan.
Berdasarkan definisi deskriptif mengenai misi di atas, kita dapat memandang peringkat amal pertama dari tujuh maratib al-‘amal yang digariskan oleh Hasan Al-Banna, yaitu perbaikan diri (ishlah an-nafs), sebagai pernyataan misional seorang aktivis Islam terkait dengan visi pertanggungjawaban dirinya.
| Perbaikan diri, sehingga ia menjadi seorang yang kuat fisiknya, kokoh
akhlaknya, terdidik pikirannya, memiliki kapasitas berusaha, benar akidahnya, tepat ibadahnya, mengendalikan (hawa) nafsunya, ketat mengatur waktunya, teratur (semua) urusannya, dan bermanfaat bagi selainnya. |
إصلاح نفسه حتى يكون : قوي الجسم , متين الخلق , مثقف الفكر , قادرا على الكسب , سليم العقيدة , صحيح العبادة , مجاهدا لنفسه , حريصا على وقته , منظما في شؤونه , نافعا لغيره |
Hikmah Sistematika (Urutan) Muwashafat
Ada hal yang menarik perhatian kita dari apa yang dituliskan oleh Hasan Al-Banna di atas, yaitu mengenai urutan karakteristik atau sifat yang disampaikannya. Bertentangan dengan naluri atau kebiasaan kita, Hasan Al-Banna memulai dengan kuatnya fisik seorang muslim alih-alih benarnya akidah atau tepatnya ibadah bagi seorang muslim.
Sebagian penulis syarah menyatakan bahwa urutan dalam hal ini tidak terkait urgensi atau pentingnya kedudukan sifat itu, ia hanya sebatas pemaduan. Mungkin yang dimaksudkan adalah metode penyandingan secara retoris dalam penulisan (mujarrad al-jam’). Walaupun, penulis syarah menyatakan, tidak menutup kemungkinan adanya faidah lain. Penulis syarah Nazarat fi Risalah At-Ta’alim mengemukakan salah satu faedah (manfaat yang dapat dipetik) penyebutan kuatnya fisik (qawiy al-jism) di awal adalah karena aspek ini merupakan aspek yang banyak dilupakan oleh banyak orang.
Urutan di atas dapat juga kita tafsirkan berdasarkan bagaimana performa seseorang (apalagi aktivis dakwah) muncul di depan kita (atau di depan orang lain). Apa faktor yang paling atraktif menarik kita pertama kali kepadanya ? Tentu awalnya adalah performa fisiknya. Karena kita bertemu atau bergaul secara fisik, dengan makhluk yang tercipta dari daging dan darah. Kesehatan dan kebugaran fisik tercermin dalam performa (tampilan) konkret yang ada di hadapan kita.
Setelah kita bergaul lama, kita akan mengetahui performa akhlaknya. Bagaimana perangainya, apakah memilik akhlak atau karakter yang kokoh atau tidak ? Apakah ia jujur dalam perkataannya ? Perangai atau akhlak dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan maupun respek kita kepadanya.
Selama bergaul, dari ucapan maupun pembicaraan yang disampaikan, kita dapat menakar seberapa terdidik akalnya, seberapa luas wawasannya. Apakah cara berpikirnya berdisiplin (terbentuk dari proses belajar yang baik) ataukah tidak ? Apakah yang dia bicarakan berdasarkan ilmu atau sekedar membual saja ? Bagaimana cara dia berfikir, menganalisis permasalahan, memberikan alternatif pemecahan ? Hal ini akan muncul dari proses komunikasi kita dengannya.
Kemampuannya berusaha, mendapatkan penghasilan terkait ekonominya, memilih profesi tertentu bagi penghidupannya mencerminkan kemandiriannya sebagai orang yang bertanggung jawab dalam hidupnya.
Keempat sifat di atas adalah sifat yang kasat mata lagi mudah kita deteksi melalui perangkat indrawi kita. Melaluinya orang lain mendeteksi kualitas pribadi kita. Kita dapat juga menyebutnya sebagai aspek eksterior dari kepribadian kita.
Sedangkan ketiga sifat selanjutnya yaitu benarnya akidah, tepatnya ibadah, pengendaliannya terhadap hawa nafsu lebih bersifat interior dalam kepribadian kita. Lebih dominan terkait relasi kita dengan Allah, dibandingkan relasi kita dengan orang lain. Orang lain sulit mengukur kedalaman serta kualitasnya secara langsung, secara indriawi. Walaupun secara urgensi lebih penting diutamakan dibandingkan aspek eksterior.
Dua sifat setelah aspek interior ini adalah ketatnya seseorang muslim mengatur waktu dan teraturnya urusan-urusan. Keduanya dapat dipandang sebagai aspek yang mengintegrasikan proses-proses pencapaian aspek interior maupun eksterior di atas. Tidak dapat dibayangkan pencapaian kesehatan-kebugaran fisik, kekuatan karakter, keluasan pikiran (wawasan), ketekunan profesional; maupun kebenaran akidah, ketepatan ibadah, serta pendisiplinan nafsu; akan dapat dijalankan tanpa ketatnya perhatian terhadap waktu serta pengaturan, manajemen urusan-urusan pribadi kita. Sebagaimana diungkapkan sendiri oleh Hasan Al-Banna, waktu adalah kehidupan.
Bermanfaat bagi selainnya, merupakan aspek kontribusi dari kepribadian kita. Kita tidak akan dapat berkontribusi jika tidak ada yang kita miliki. Pepatah mengatakan, faqidu asy-syai’ la yu’thihi, yang tidak punya sesuatu tidak bisa memberi. Tidak adanya kecukupan harta yang dihasilkan dari profesi kita, sulit bagi kita untuk membantu yang lainnya. Tidak adanya ilmu, sulit bagi kita untuk kontribusi ide maupun solusi. Tidak adanya karakter yang kuat, sulit bagi kita untuk berkontribusi dalam kepemimpinan. Tidak adanya kesehatan, sulit bagi kita berpartisipasi dalam kegiatan. Titik kontribusi ada di luar dirinya sendiri.
Dari deskripsi di atas kita dapat menggambarkan visualisasi aspek itu dalam diagram berikut ini.

Rujukan Makna
Penerjemahan ungkapan sifat atau muwashafat di atas sengaja dipilih secara berbeda dengan ungkapan-ungkapan yang lebih populer, semata-mata untuk mengungkapkan muatan makna yang, menurut hemat penulis, terkandung di dalamnya.
| Qawiy al-jism | Fisik yang kuat |
| Matin al-khuluq | Akhlak yang kokoh |
| Mustaqaf al-fikr | Pikiran yang terdidik |
| Qadir ‘ala al-kasb | Memiliki kapasitas berusaha |
| Salim al-aqidah | Akidah yang benar |
| Sahih al-‘ibadah | Ibadah yang tepat |
| Mujahid li-nafsihi | Mampu mengendalikan (hawa) nafsu |
| Harish ‘ala waqtihi | Ketat mengatur waktu |
| Munazham fi syu-unihi | Teratur dalam semua urusan |
| Nafi’ li ghairihi | Bermanfaat bagi selainnya |
Ide mengenai fisik yang kuat mengacu pada kesehatan dan kebugaran tubuh.
Akhlak dapat dipadankan dengan karakter atau perangai. Perangai atau karakter adalah bentuk atau postur kejiwaan kita, sebagaimana tubuh memiliki bentuk atau postur. Akhlak dalam definisi yang umum diterima oleh para Ulama, misal Imam Ghazali, adalah sifat atau kapasitas mental seseorang yang menghasilkan perilaku tertentu tanpa pikir panjang, semacam sudah menjadi reflek baginya. Orang dermawan, selalu akan mudah memberi infak, tanpa pikir-pikir lama. Orang kaya belum tentu dermawan karena keengganan atau hanya terpaksa memberi. Orang miskin bisa saja dermawan, dia tidak bisa memberi karena saat itu memang tidak ada yang dia bisa berikan, tetapi karakter itu tertanam dalam dirinya. Orang berkarakter jujur, bukan karena terpaksa berkata atau berbuat jujur, atau bukan karena memandang manfaat berkata jujur. Akhlak di sini tidak mengacu secara langsung pada tata-krama atau sopan-santun. Karakter yang kuat, kokoh karena ia bersifat tegar dalam beragam kondisi Orang berkarakter jujur (secara kuat), di manapun dia akan jujur.
Kata tsaqafah sering dipadankan dengan budaya maupun pengetahuan atau intelektualitas. Pikiran yang mutsaqaf, berarti pikiran yang terdidik, disiplin pikiran melalui pemerolehan pengetahuan. Kualitas ini tidak mengacu pada pemerolehan informasi-informasi yang tersebar semata-mata. Banyak mengumpulkan informasi dari beragam media belum tentu berpengetahuan, karena disiplin pikiran juga berarti berfikir secara ilmiah (metodologis) dan memiliki etika ilmiah.
Memiliki kapasitas berusaha jelas terkait dengan kemandirian ekonomi. Hal ini juga dengan ketekunan dalam profesi tertentu.
Benar dalam akidah berarti muatan akidah yang diyakini bersumber dari sumber yang pasti kebenarannya (Al-Qur’an dan Sunnah). Benar di sini juga terkait dengan metodologi (manhaj) pengambilan akidah itu. Bahwa Allah itu satu, tanpa sekutu bagi-Nya; adalah pernyataan akidah. Sebuah pernyataan benar, jika premis (muatan makna) merujuk pada yang hak (benar), dan metodologi pengambilan-nya (pernyataan itu) berdasarkan sumber yang tepat.
Tepat dalam ibadah berarti mengikuti apa yang bersumber dari Rasulullah. Dalam upaya mengikuti ibadah sesuai sunnah (peri-pelaksanaan) Rasulullah ini, kriteria yang digunakan adalah validitas dalil-dalilnya. Menguji validitas dalil ini perkara yang memerlukan ilmu sendiri, sehingga mengikut mazhab tertentu dalam fikih bagi orang awam adalah jalan yang memudahkan baginya. Tepat (valid, sah) di sini memungkinkan perbedaan pendapat dalam spesifikasi teknis.
Mujahadah terhadap dirinya sendiri, yang dipadankan dengan kemampuan mengendalikan (hawa) nafsu, merujuk pada konsep tazkiyah an-nafs. Tazkiyah an-nafs atau penyucian jiwa merupakan basis spiritualitas seseorang.
Ketat mengatur waktu mengacu kemampuan mengatur diri kita. Karena waktu terbatas jumlahnya, dan pada dasarnya waktu ada di luar kendali kita, yang dapat diatur sebenarnya adalah diri kita. Inti manajemen waktu berarti manajemen diri.
Teratur dalam berbagai urusan mengacu pada kemampuan kita mengelola (me-manajemeni) interaksi kita dengan benda maupun orang-orang sekitar kita.
Bermanfaat bagi yang lain dapat mengacu pada aspek kontributif bagi orang lain maupun masyarakat. Bisa dari sisi kemampuan kita memberi pertolongan bagi yang memerlukan, baik pertolongan harta atau benda material, ataupun pertolongan psiko-sosial. Kebermanfaatan juga dapat berupa ketekunan profesional maupu aspek kepemimpinan yang berefek pada manfaat yang diberikan kepada umat atau masyarakat luas.
Rujukan
Da’wah Kami Kemarin dan Hari Ini, Al-Imam Assyahid Hasan Al-Banna (penerj. Rahmat Abdullah), cetakan II, Penerbit Firdaus, Jakarta. 1991.
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1 (penerj. Anis Matta et.al). Cetakan kedua. Intermedia, Solo. 1998.
Kumpulan Risalah Dakwah Hasan Al-Banna Jilid 1 (penerj. Khozin Abu Faqih). Cetakan pertama. Al Itishom. Jakarta. 2006.
Nazharat fi Risalah Ta’alim, Syarah Risalah Ta’alim. M. Abdullah Khatib, Al-I’tishom. Jakarta, 2018.
Membina Angkatan Mujahid, Sa’id Hawwa, Intermedia. Solo. 2014
The 7 Habits Of Highly Effective People:(7 Kebiasaan Manusia Yang Sangat Efektif), Stephen R. Covey, Binarupa Aksara, Jakarta. 1997.
