“Ketika kita hidup untuk diri sendiri, nampak kehidupan ini menjadi singkat dan dangkal.” “Ketika kita hidup untuk orang lain, untuk sebuah fikrah (ide), nampak ia menjadi panjang dan dalam.”
“Aku sudah tidak lagi takut pada kematian, meskipun ia datang mendadak. Aku sudah banyak mengambil dari kehidupan ini, aku sudah ‘memberi’.”
Sekilas tentang esai Kepuasan Rohani karya Sayyid Qutb
Kutipan di atas diambil dari sebuah esai karangan Sayyid Qutb yang diberi judul berbeda-berbeda. Terjemahan oleh Djamaluddin Kafie (diterbitkan Bina Ilmu, Surabaya, 1982) mengambil dari judul Afrahur Ruh (ini yang menjadi judul yang diterjemahkan) dan Adhwa-un min ba’id (Cahaya dari Jauh). Sedangkan, terjemahan H. Salim Basyarahil (diterbitkan GIP cet. I 1988) mengambil dari Risalah ila ukhtii al-muslimah (Surat kepada Saudari Muslimah) yang dijuduli Kisah Kehidupan dan Kematian dalam terjemahannya.
Sebagian orang menyatakan, esai atau risalah ini merupakan risalah yang dikirimkan kepada adik Sayyid Qutb, Aminah Qutb, menjelang eksekusi beliau. Tetapi hal ini dibantah oleh sebagian ilmuwan yang serius meneliti karya beliau (bisa dilihat dalam Biografi Sayyid Qutb karya Al-Khalidi). Titi mangsa penerbitannya pada tahun 1959 oleh majalah Al-Fikr di Tunisia mengonfirmasi ketidaktepatan pendapat ini. Padahal eksekusi Sayyid Qutb terjadi 29 Agustus 1966.
Terjemahan dari GIB secara umum lebih mudah dipahami dan mengalir, walaupun dibuka dengan sapaan yang agak formal dengan menggunakan kata ganti Anda. Sedangkan terjemahan Bina Ilmu, agak sulit memahami koherensi makna yang ingin disampaikan, walaupun sapaan pembuka lebih akrab dengan tetap mempertahankan gaya surat dengan sapaan Adikku. Terjemahan GIB secara umum lebih superior dibanding terjemahan Bina Ilmu. Tulisan ini merujuk pada dua terjemahan di atas dengan sekali-kali merujuk pada edisi bahasa arabnya.
Catatan kecil, dalam esai kecil ini banyak digunakan kata fikrah, perlu diketahui kata fikrah sudah menjadi kata dalam bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fikrah dimaksudkan sebagai ideologi atau pemikiran.
Persepsi Terhadap Kematian dan Kehidupan
Fenomena kematian, walaupun merupakan fakta kehidupan yang pasti, tetap saja menjadikan kita kadang merasa gentar dalam memahaminya. Ibarat sebuah kekuatan, ia begitu dasyat, kuat lagi digdaya, sekaligus menggelisahkan dan mengancam di sudut-sudut kehidupan kita.
Bagi Sayyid Qutb, kekuatan kematian tidak perlu menggentarkan kita, justru sebenarnya kekuatan kehidupan lebih bergejolak, riuh dan senantiasa lahir, tumbuh dan berkembang. Luka atas kematian, adalah luka yang cepat sembuh, dan kehidupan akan terus berjalan.
Manusia Fikrah
Dengan persepsi kehidupan seperti di atas, bagaimana seharusnya kita hidup. Sayyid Qutb, sebagaimana dikutip pada pendahuluan di atas, menyatakan ketika kita hidup untuk diri sendiri, nampak kehidupan ini menjadi singkat dan dangkal. Sedangkan, ketika kita hidup untuk orang lain, untuk sebuah fikrah (ide), nampak ia menjadi panjang dan dalam.
Hidup bagi sebuah fikrah (pemikiran, ideologi) adalah kata lain dari hidup bagi orang lain (tidak melalu berurusan dengan diri sendiri saja). Bagaimana hal ini bisa menciptakan kedalaman maupun keluasan dalam hidup ? Karena ukuran yang digunakan dalam menilai adalah bilangan perasaan. Sesuatu yang melipatgandakan bilangan perasaan, niscaya melipatgandakan kehidupan.
Bagaimana melipatgandakan bilangan perasaan ini ? Jika kita dapat menyemai benih-benih kebaikan di dalam diri kita dan orang lain. Setiap orang selalu memiliki segi-segi baik dalam diri mereka. Tugas kita adalah menyentuh segi-segi baik itu melalui cinta, perhatian, kepercayaan, lapang-dada dan toleransi. Segi jahat dalam diri manusia hanya ibarat cangkang pertahanan hidup, yang akan terkelupas dengan sendirinya ketika merasakan keamanan.
Melalui cinta dan perhatian itu sebenarnya kita juga menjadi bertumbuh. Cinta yang membebaskan kita dari duka, derita maupun dengki.
Hidup bagi sebuah fikrah, menghendaki kita untuk tidak mengasingkan diri kita dari orang banyak. Sikap mengisolasi diri, atau dalam bentuk yang lebih lunak dengan tidak memedulikan realitas sosial yang ada, kadang muncul karena merasa lebih suci hati, bersih jiwa maupun luas wawasan dibandingkan dengan orang lain.
Kegembiraan hidup bagi sebuah fikrah adalah ketika orang lain mau memahami, memeluk dan memperjuangkan fikrah itu. Bagi Sayyid Qutb, hanya mereka yang bermental pedagang ide yang menghendaki ide itu menjadi monopoli dirinya sendiri, gusar ketika orang lain memperjuangkan ide itu seolah orang itu merebut harta berharga miliknya. Mentalitas pedagang ide, tidak menginginkan orang lain meraih laba, kecuali dirinya sendiri. Semakin matang interaksi seseorang denga fikrah, semakin mudah baginya untuk menerima uluran tangan orang lain dalam membantunya.
Kebutuhan kemanusian terhadap orang-orang terspesialisasi dalam ilmu pengetahuan maupun teknologi tidak dapat kita pungkiri. Tetapi peran mengarahkan kehidupan tidak ada di pundak mereka para spesialis ilmu. Peran itu ada pada barisan pelopor di atas (manusia fikrah). Merekalah yang memberi arah bagi kehidupan, penunjuk jalan bagi kemanusiaan; melalui potensi rohani mereka. Kejelian visi mereka melihat kesatuan dalam ilmu, keyakinan, seni dan teknolgi.
Visi kepeloporan itu berakar pada keimanan pada yang gaib. Keimanan yang bebas dari khurafat dan khayal maupun keingkaran yang jatuh pada materialisme kehidupan. Mengakui keagungan Allah pencipta alam, semakin menambah kekuatan dan ketegaran serta menghilangkan kerendahan dan kelemahan diri.
Banyak orang merasa bebas ketika dapat memperturutkan nafsu, dan memenuhi kebutuhan material mereka. Mereka merasa bebas dengan bebas dari ikatan nilai-nilai. Sebenarnya hal ini bukan merupakan kebebasan, tetapi kekosongan dari nilai kemanusian dan alih-alih mengikatkan diri pada kecenderungan hewani dalam diri kita.
Banyak juga orang mengatakan bahwa ide atau prinsip sudah cukup dengan sendirinya, tidak perlu lagi pada orang yang memperjuangkannya. Bagi Sayyid Qutb sebaliknyalah yang tepat. Apa artinya sebuah prinsip, ideologi tanpa keyakinan hangat yang menggerakkan ? Dimana menemukan keyakinan yang mendorong itu, kecuali dalam hati manusia. Prinsip, ide akan menjadi kata-kata kosong, atau makna yang mati kecuali menemukan hati yang meyakini dan menghidupkannya. Orang tidak akan percaya pada prinsip atau fikrah yang muncul dari otak yang dingin maupun hati yang tidak bercahaya. Kaidahnya adalah kamu yakin dengan fikrahmu, dengan keyakinan yang membakar, saat itulah orang lain akan yakin dengan fikrah itu. Tidak ada kehidupan bagi fikrah, kecuali ia harus menjelma sebagai pribadi, manusia yang berjalan di muka bumi.
Kadang orang bertanya, apakah tujuan dapat menghalalkan segala cara ? Dalam kalkulasi rohaniah, sulit membayangkan tujuan mulia dicapai melalui sarana hina. Tujuan mulia, hidup dalam hati yang mulia; bagaiman cara hina dapat digunakan ? Cara hina, buruk ibarat kotoran yang akan menggantungi rohani kita. Dalam kalkulasi rohaniah, sarana adalah bagian dari tujuan.
Prinsip Memberi
Hidup bagi fikrah, bagi orang lain berarti hidup yang selalu memberi. Kepuasan rohani dicapai dalam memberi. Memberi kegembiraan, kepercayaan, harapan, hiburan bagi orang lain. Kepuasan rohani ini cukup bagi kita, terlepas dari apresiasi atau penghargaan orang lain atas kita.
Mengambil dan memberi tampak seperti kontras. Dalam perspektif rohani bagi Sayyid Qutb, sebenarnya ia merupakan aspek yang sama. Setiap kali kita memberi, setiap kali pula kita mengambil. Maksudnya, setiap kali memberi selalu kita telah mengambil imbalan (kepuasan dan kegembiraan rohaniah).
Sayyid Qutb mengungkapkan, “Aku sudah tidak lagi takut pada kematian, meskipun ia datang mendadak. Aku sudah banyak mengambil dari kehidupan ini, (karena, yakni) aku sudah ‘memberi’.”