Membaca semua buku yang bagus layaknya sebuah percakapan dengan pemikiran terbaik di abad-abad sebelumnya. (Rene Descartes, Risalah Tentang Metode)
Seri kejeniusan merupakan salah satu seri bagian dari seri biografi yang ditulis oleh Abbas Mahmud Al-‘Aqqad. Al-‘Aqqad merupakan salah seorang tokoh pemikir Mesir yang menghasilkan karya di berbagai bidang. Hebatnya, ia tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi, kemampuannya didapatkan hampir sepenuhnya secara otodidak[1]. Al-‘Aqqad adalah guru Sayyid Qutb dalam sastra. Sayyid Qutb barangkali lebih dikenal di kalangan pergerakan Islam dibandingkan Al-‘Aqqad.
Setidaknya sejak tahun 1970-an hingga 1990-an beragam karyanya telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, sebut saja bukunya Allah, yang diterjemahkan sebagai Ketuhanan, Sepanjang Sejarah Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, oleh A.Hanafi yang diterbitkan oleh Bulan Bintang 1970[2]. Buku ini juga diterjemahkan sebagai Tuhan Di Segala Zaman, oleh M. Adib Bisri & A. Rasyad, diterbitkan oleh Pustaka Firdaus 1991. [3]
Al-‘Aqqad banyak menulis biografi tokoh-tokoh besar dalam sejarah. Tidak hanya tokoh-tokoh Islam klasik (biografi Nabi dan beberapa sahabat, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Penyair Abul ‘Ala, Abu Nuwas dsb) maupun modern (seperti Sa’ad Zaghlul, Muhammad Abduh) tetapi juga tokoh-tokoh masa lalu seperti Nabi Ibrahim[4] atau Nabi Isa[5], juga tokoh bangsa lain (misalnya Gandi, Sun Yat Sen) maupun tokoh Barat modern (misal, Benjamin Frankilin, Bernard Shaw bahkan Hitler). Diantara seri biografi ini beberapa seri diberi judul dengan tajuk ‘abqariyah (kejeniusan), misal Kejeniusan Muhammad, Kejeniusan ‘Umar, Kejeniusan Ash-Shidiq, Kejeniusan Imam ‘Ali, Kejeniusan Khalid, termasuk Kejeniusan Reformasi dan Pendidikan Imam Muhammad ‘Abduh serta Kejeniusan Al-Masih. Seri biografi tokoh-tokoh ini kemudian lebih dikenal sebagai seri kejeniusan (‘abqariyah).
Karya Al-‘Aqqad dalam seri kejeniusan ini banyak memberi wawasan mengenai kepribadian para tokoh atau pahlawan itu. Tidak saja wawasan tetapi juga beberapa konsep metodologis dalam menganalisis kepribadian para pahlawan maupun interpretasi atas peristiwa sejarah yang terjadi di sekitar pahlawan itu. Diantara konsep metodologis akan kita elaborasi pada tulisan ini adalah konsep kepahlawanan dan kunci kepribadian.
Seri Kejeniusan Al-‘Aqqad di Indonesia

Penerbit Bulan Bintang, Jakarta menerjemahkan beberapa karya biografis dari Al-‘Aqqad, yang diterjemahkan oleh Prof. H. Bustami A. Gani dan Drs. Zainal Abidin Ahmad, di antaranya :
- Kecemerlangan Khalifah Umar bin Khattab (‘Abqariyatu ‘Umar), 1978
- Keutamaan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddieq (‘Abqariyatu Ash-Shidiq), 1978.
- Ketaqwaan Khalifah Ali bin Abi Thalib (‘Abqriyatu Al-Imam ‘Ali), 1979.
- Kepahlawanan Khalid bin Walid (‘Abqariyatu Khalid), 1977.
Selain tajuk kejeniusan di atas, Bulan Bintang juga menerbitkan Kedermawanan Khalifah Utsman bin Affan yang diterjemahkan oleh kedua penerjemah di atas, serta Fatimah Zahra’ Ibunda Para Syuhada’, 1976, diterjemahkan oleh Dra. Chadidjah Nasoetion.
Pada awal tahun 1990-an Penerbit Pustaka Mantiq, Solo menerbitkan beberapa seri ‘abqariyat yang diberi tajuk keagungan, yaitu Keagungan Nabi Muhammad (1993), Keagungan Abu Bakar Ash-Shiddiq (1990), Keagungan Umar bin Khatab (1992), Keagungan Ali bin Abi Thalib (1992). Penerbit ini juga menerbitkan biografi Aisyah Shiddiqoh Binti Shiddiq dan Bilal Muadzin Rasul, juga Keaguangan Muhammad SAW (1993). Kesemua terjemahan biografi ini dilakukan oleh Abdul Kadir Mahdamy.
Pustaka Azzam di awal-awal tahun 2000-an menerbitkan terjemahan seri ‘abqariyyat ini kemudian dijadikan menjadi satu buku besar dengan judul Kejeniusan Rasulullah, Abu Bakar, Umar, Ustman dan Ali[6].
Terjemahan Bulan Bintang secara umum konsisten menerjemahkan keseluruhan teks, termasuk kata pengantar. Penerjemah juga berusaha mengungkapkan pemikiran Al-‘Aqqad sebaik mungkin. Bagi pembaca awam, untuk memahami teks terjemahan ini perlu secara pelan-pelan dalam melakukan pembacaan guna memahami ide maupun interpretasi sebuah peristiwa, kejadian.

Sedangkan terjemah Pustaka Mantiq dalam format buku saku lebih mengalir dibaca secara naratif (sebagai kisah), sayangnya bagian pengantar tidak diterjemahkan. Beberapa terjemahan terhadap beberapa ide, misal ide kunci kepribadian, tidak mudah dipahami dalam terjemahan ini. Terjemah pustaka Azzam lebih lengkap, namun beberapa ide masih agak sulit untuk dipahami dari terjemahan ini (misal kunci kepribadian dan relasinya dengan keimanan).
Menurut penulis, terjemahan Bulan Bintang secara umum lebih lengkap dan lebih superior dibanding dua terjemahan lainnya.
Tampak dalam judul terjemahan istilah abqariyah (kejeniusan) diungkapkan dengan berbeda-beda. Bulan Bintang menerjemahkan dengan beragam ekspresi seperti kecemerlangan, keagungan, keutamaan. Pustaka Mantiq konsisten dengan ungkapan keagungan, demikian pula Pustaka Azzam dengan ungkapan kejeniusan. Bagi sebagian kalangan, ungkapan kejeniusan bisa diterima bagi para sahabat, tetapi menjadi problematik ketika diungkapkan untuk menyifati Rasulullah dengan ungkapan Kejeniusan Rasulullah (atau Kejeniusan Muhammad). Dalam seri biografi Al-‘Aqqad ini tajuk kejeniusan tidak diberikan pada semua judul, biografi Ustman diberi judul Dzun-nurain ‘Ustman ibn ‘Affan bukan ‘Abqariyatu ‘Ustman, sehingga judul terjemahan Pustaka Azzam terkait biografi Utsman jadi kurang tepat, karena tidak mewakili judul asli.
Sketsa Metodologi Seri Kejeniusan[7]
Seri ini merupakan seri biografi (tarjama) tentang orang-orang besar dalam sejarah Islam. Sifat kajian dalam seri ini tidak kronologis, tetapi deskriptif. Berbeda dengan buku sejarah yang banyak mengungkap peristiwa secara berurutan waktunya, Al-‘Aqqad melakukan kajian secara analitis, baik analisis psikologis atas kepribadian tokoh maupun analisis interpretatif terhadap tindakan sang tokoh pada peristiwa-peristiwa tertentu[8].
Bisa jadi biografinya akan dinilai apologetik, karena lebih banyak melakukan pembelaan dan sangat minim kritik. Hal itu memang sudah disadarinya. Metode yang digunakannya dalam penulisan biografi ini adalah dengan mengangkat jasa dan kontribusi sang tokoh bagi kemanusiaan, serta memberi mereka penghormatan dan mengangkat karakter mereka yang layak dikagumi. Al-‘Aqqad juga mengingatkan untuk menilai sang tokoh dalam konteks zamannya, tidak menilai mereka dengan acuan nilai-nilai atau pencapaian zaman modern.
Dalam biografinya, setelah pengantar, Al-‘Aqqad biasanya memulai dengan deskripsi ringkas sifat dan fisik sang tokoh, kemudian membahas mengenai sifat-sifat (karakter) tokoh secara detail. Selanjutnya akan diungkapkan kunci kepribadian masing-masing tokoh (bisa di awal pembahasan atau di bab-bab akhir). Peristiwa masuk Islamnya sang tokoh biasanya mengiringi setelah pembahasan kunci kepribadian. Bab-bab selanjutnya akan membahas prestasi-prestasi sang tokoh (dalam sejarah Islam awal), penilaian sahabat-sahabat maupun lawan mereka, kecerdasan mereka maupun kehidupan mereka dalam keluarga.
Kejeniusan atau Kepahlawanan
Apa yang dimaksud kejeniusan di sini ? Sejauh yang dapat penulis dapati, hanya dalam biografi Umar definisi kejeniusan diberikan, itupun secara deskriptif dengan menunjuk pada kriterianya. Kriteria kejeniusan bagi Al-‘Aqqad adalah keunikan, kepeloporan, yang membangun kreasi awal. Sebagian peneliti menilai Al-‘Aqqad tidak konsisten dengan definisi ini[9].
Ide yang diacu oleh Al-‘Aqqad lebih tepat disebut sebagai kepahlawanan alih-alih kejeniusan, ide yang setidaknya dipengaruhi oleh Thomas Carlyle. Carlyle menyatakan bahwa sejarah pada intinya adalah sejarah orang-orang besar. Pembahasan yang dilakukan oleh Al-‘Aqqad adalah pembahasan mengenai kebesaran, kekuatan serta keagungan tokoh-tokoh itu. Ia seringkali mengacu menyebut kriteria dan deskripsi tentang orang kuat (besar) yang mengkombinasikan beragam sifat yang tampak kontradiktif (misal, ketika ia menyatakan Umar adalah orang kuat, tetapi juga adil sekaligus mengagumi pahlawan lain (Nabi Muhammad), jadi kekuatan tidak bertentangan dengan keadilan maupun kekaguman).
Kejeniusan yang dimaksud Al-‘Aqqad dalam biografi yang ditulisnya terkait dengan ide kepahlawanan, orang-orang besar dan kuat yang membentuk sejarah. Orang-orang besar itu memimpin manusia, memberi pola, menjadi model maupun pembentuk massa (pengikut)[10]. Al-‘Aqqad menyatakan keunikan, kehebatan, keluarbiasaan seseorang dapat dilihat dari karakter pribadinya maupun perbuatannya. Orang besar, kuat mampu membangkitkan pengaruh pada orang lain maupun memiliki ketajaman intuisi dalam mengenal, menempatkan maupun ‘membebas-tugaskan’ orang lain.
Kekuatan atau kebesaran seseorang bisa jadi beririsan dengan kebaikan maupun tidak. Manusia ada yang kuat, ada juga yang lemah. Demikian pula manusia ada yang baik, ada pula yang buruk. Kekuatan dapat bertemu dengan kebaikan, sebagaimana ia dapat bertemu dengan keburukan. Kelemahan juga dapat bertemu dengan kebaikan, sebagaimana dapat bertemu dengan keburukan. Biografi orang besar dalam seri kejeniusan ini merupakan refleksi kekuatan yang bertemu dengan kebaikan.
| Kuat-Baik | Lemah-Baik |
| Kuat-Buruk | Lemah-Buruk |
Kunci Kepribadian
Al-‘Aqqad menyebut kunci kepribadian sebagai alat kecil yang digunakan untuk membuka pintu-pintu kepribadian yang tertutup (tidak nampak jelas) dari luar. Kunci ini mirip dengan kunci pintu rumah (dalam keserupaan maupun fungsinya). Rumah ibarat bangunan yang tertutup, terkunci rapat selama kita tidak memegang alat kecil ini untuk membukanya.
Kunci rumah bukan sifat (karakteristik deskriptif) bagi rumah itu, juga bukan representasi bentuk dan ukurannya. Demikian pula kunci kepribadian, ia bukan sifat bagi seseorang, bukan pula representasi karakteristik dan keistimewaannya; tetapi ia adalah alat yang membawa kita ke dalam pemahaman atas kepribadiannya.
Kunci Kepribadian Umar
Ciri fisik Umar, tinggi besar, kekar, rambut jarang (botak), cepat tersentuh lagi memiliki firasat tajam.
Sifat-sifat Umar dapat disebutkan; keadilan, kecemburuan, kasih sayang, kecerdasan, iman. Sifat-sifat ini terbentuk dari beragam faktor, warisan keluarga, pendidikan pribadi, maupun sosialisasi.
Menurut Al-Aqqad, kunci kepribadian Umar adalah karakter keprajuritan (tabhi’at al jundi) dalam performanya yang tertinggi. Ciri karakter keprajuritan meliputi keberanian, determinasi, keterusterangan, kehormatan diri, kepahlawanan, tata-aturan, apresiatif terhadap pekerjaan, obsesi pada pencapaian, tanggung jawab. (‘abqariyatu ‘umar).
Kunci kepribadian ini memberi bentuk pada sifat-sifat itu dalam terapannya; pada tindakan, kebijakan, ide-gagasan tertentu yang muncul. Pada Umar muncul keunikan dan prestasinya, misal dalam menata saf saat memulai salat berjamaah, posisi di mimbar khutbah (dia tidak mau menempati posisi di atas posisi yang pernah ditempati Abu Bakar), pembentukan kantor-kantor, sensus, penataan militer, pemilihan gubernur daerah, ketegasan dalam hukum dsb.
Kunci Kepribadian Abu Bakar
Secara disposisi fisik Abu Bakar berbeda dengan Umar. Abu Bakar perawakannya lebih pendek dan ramping, berkulit putih, rambut lebat, mata cekung, wajah berurat, cenderung agak bungkuk (mungkin pada masa tuanya). Abu Bakar dalam deskripsi Al-Aqqad bersifat temperamental (cepat tersulut) lagi berperasaan halus.
Kualitas moral Abu Bakar dapat disederhanakan melalui gelarnya Ash-Shidiq yang diterimanya sejak zaman jahiliyah. Ia ramah, tidak arogan, mudah bergaul, rendah hati, lemah lembut, pemurah, terpercaya sebagai penjamin (sidiq), serta menjaga muru’ah (harga diri, nama baik). Abu Bakar memiliki sikap terbuka kadang keras kepala. Abu Bakar memiliki kapasitas (kemampuan, malakah) spiritual yang luar biasa, di samping kapasitar intelektual dan moral, sebuah kapasitas yang di zaman modern disebut sebagai kesadaran hati-nurani. (‘Abqariyatu ‘Umar)
Kunci kepribadian Abu Bakar menurut Al-Aqqad dapa ditemukan pada kekaguman atas kepahlawanan (al-i’jab bil buthulah). Melalui kunci kepribadian ini kita dapat memahami bagaimana ketaatan Abu Bakar kepada Rasulullah bahkan setelah wafatnya beliau. Abu Bakar tetap memberangkatkan pasukan yang dipimpin Usamah bin Zaid, walaupun banyak yang tidak setuju, karena sudah diputuskan oleh Rasulullah, demikian pula ketegasan Abu Bakar uuntuk memerangi mereka yang tidak membayar zakat, padahal sebelumnya mereka membayar di zaman Rasulullah walaupun Umar tidak setuju. Di balik kelembutan Abu Bakar, pada situasi tertentu yang menuntut, ketegasan akan muncul (‘Abqariyatu Shidiq).
Kunci Kepribadian Ali bin Abi Thalib
Fisik Ali Bin Abi Thalib bisa disederhanakan sebagai fisik yang kuat dan prima, dengan postur tinggi sedang, dan gaya berjalan yang mirip dengan Rasulullah. Spirit pasukan berkuda yang menjaga harga diri (muru’ah), penuh rasa unggu. Ali masyur dengan keberaniannya, seperti nyata dalam duel (mubarazah) dalam perang Khandaq. Ali juga amat masyur dengan kecerdasan dan kebijaksanaannya dalam ilmu pengetahuan.
Bagi Al-‘Aqqad kunci kepribadian Ali bin Abi Thalib ada pada etik kekesatriaan (adab al furusiyah), utamanya pada etik kekesatriaan pasukan berkuda, kavaleri. Kunci kepribadiannya adalah kode etik prajurit berkuda, yang dapat disimpulkan pada harga diri (prestise diri), kehormatan diri. Kemenangan yang ingin dicapainya adalah kemenangan dengan etika dan harga diri. Pantang baginya mencaci maki, karena perang adalah dengan pedang. (‘Abqariyatu ‘Ali)
Kunci Kepribadian Khalid bin Walid
Secara fisik, Khalid bin Walid amat sangat mirip dengan Umar bin Khatab. Dari jauh mungkin orang tidak mudah untuk membedakan keduanya.
Kunci kepribadian Umar dan Khalid, menurut Al-Aqqad sama, yaitu karakter keprajuritan (As-saliqah Al-jundiyah). Tetapi muncul dalam kualifikasi yang berbeda, (1) Umar, karakter keprajuritan yang memanifestasi dalam keunggulan spiritual, hati nurani, dan kebijaksanaan (2) Khalid, karakter keprajuritan dalam vitalitas mendobrak dan menyerang (tapi juga suka pada kesenaganan yang tak terlarang, banyak kisah Khalid selain terkait dengan insiden perang, juga insiden dengan wanita).
Menurut Al-‘Aqqad perbedaan antara Umar dan Khalid, selain dala perbedaan kepribadian juga merupakan perbedaan antara dua kabilah, dua keluarga dan lingkungan masa kecil. Bani ‘Adi (kabilah Umar) merupakan rujukan meminta hukum dan memiliki pengetahuan untuk menyelesaikan sengketa. Sedang Bani Mahzum (kabilah Khalid) adalah ahli perang yang terdiri dari orang kaya dan bermewah-mewah, mereka dipercaya mengurus pasukan berkuda dan persenjataan.(‘Abqariyatu Khalid)
Antara Kunci Kepribadian dan Iman
Kunci kepribadian memiliki fungsi yang berbeda dengan keimanan. Iman merupakan faktor yang mengontrol karakter dan pemikiran. Iman juga faktor yang mengontrol motivasi, emosi maupun tindakannya. Iman berfungsi memberi arah dan kontrol bagi pribadi seseorang.
Kunci kepribadian tidak sama dengan faktor pengontrol kepribadian ini. Melalu kunci kepribadian, kita mencari sesuatu (tanda, atribut) yang membedakan orang besar satu dengan yang lainnya, sekaligus yang menjelaskan bagaimana iman (itu) ditampilkan dalam karakter, pemikiran, motif, emosi muncul secara berbeda. Iman yang ada dalam jiwa banyak orang, muncul dengan tampilan (pembuktian diri) yang berbeda karena perbedaan kejiwaannya. (‘abqriyatu ‘umar).
Pada Umar, iman muncul dengan tabiat keprajuritan yang ideal; manifestasi iman itu ada pada tindakan penuh ketegasan, keadilan, kemerdekaan, pemikiran, penuh pertimbangan dan tidak membabi-buta. Iman yang muncul dari performa yang teguh, tegas tanpa khusyu’ yang berlagak, karen berlagak khusyu’ tidak menambah kekhusyuan dalam hati. Kekaguman dan iman dalam diri Umar tidak menghalanginya untuk banyak memberikan usul maupun kritik, bahkan di zaman Nabi.
Kunci kepribadian Abu Bakar memunculkan iman dalam bentuk yang penuh kelembutan tetapi tegas dalam prinsip. Ekspresi iman dalam diri Abu Bakar terungkap pada gelarnya, ash-shidiq (benar). Ekspresi yang muncul dalam keyakinan penuhnya pada apa yang disampaikan oleh Rasulullah S.A.W, dalam pengorbanannya untuk perjuangan Islam (ingat kisah ia menginfakkan seluruh hartanya), dalam ketatnya ia menjaga warisan (agama) dari Rasulullah (ketegasannya dalam memerangi gerakan kemurtadan maupun mereka yang enggan membayar zakat).
Iman yang membentuk pribadi penuh harga diri, taat etika dan penuh hikmah dalam medan perang maupun medan pemikiran melalui kunci kepribadiannya kode-etik keprajuritan pada Ali bin Abu Talib. Ali adalah orang yang faham dan mendalam fikihnya. Fatwa-fatwanya menjadi pedoman para sahabat, bahkan khalifah sebelumnya. Ia adalah salah satu pembangun awal beragam ilmu keislaman (termasuk tata-bahasa arab).
Khalid bin Walid, tampil dengan keimanan yang mendobrak, intelijen, namun kadang tidak seirama dengan adat (kasus Khalid menikahi janda kepala suku yang baru terbunuh, atau Khalid suka makan biawak). “Perang menurutnya ibarat wanita cantik yang dia inginkan.”
Para pahlawan Islam itu berakar pada keimanan yang sama, tentu dengan keutamaan mereka masing-masing; sebagaimana disebutkan utamanya keimanan Abu Bakar dibanding para sahabat lainnya. Tapi mereka menampilkan performa, tindakan, kebijakan, karakter, perilaku, kebiasaan, obsesi, sikap dan gerakan yang berbeda.
Bagaimana Mengidentifikasi Kunci Kepribadian ?
Al-‘Aqqad tidak menjelaskan bagaimana kunci kepribadian seseorang (tokoh) diidentifikasi. Dari kata kunci yang dia berikan; keprajuritan, kekaguman kepahlawanan, etika keprajuritan (kode-etik prajurit), kesemuanya merupakan hasil dari akumulasi proses pendidikan (informal) pada fase formatif pembentukan diri mereka, melalui sosialisasi di keluarga maupun kabilahnya, maupun kepercayaan, amanat yang diberikan masyarakat (Quraisy) kepada mereka (Abu Bakar pada masa pra-Islam adalah semacam hakim dalam memutus perselisihan darah, Umar pada masa pra-Islam menjabat semacam duta besar). Semua ini membentuk mentalitas tertentu pada diri mereka. Tentu saja faktor kesadaran, pilihan harus tambahkan di dalamnya. Kesadaran, mentalitas dan lingkungan membentuk kunci kepribadian para tokoh.
Kontras-Kontras Kepribadian (Synkrisis)
Dalam beberapa bagian Al-‘Aqqad melakukan perbandingan, kontras-kontras kepribadian antar tokoh, misalnya kepribadian Abu Bakar dengan Umar. Secara fisik Abu Bakar berparas pendek, cenderung bungkuk, sedang Umar tinggi besar dengan kepala botak. Ketika terjadi pemberontakan Riddah (gerakan kemurtadan), Umar cenderung untuk tidak memerangi mereka, sedangkan Abu Bakar secara tegas memutuskan memerangi mereka. Dalam perkara kesalahan yang dibuat Khalid bin Walid, Abu Bakar cenderung memaafkan, sedangkan Umar merekomendasikan pemecatan (pemecatan yang kemudian terjadi di zaman Umar dengan alasan yang berbeda).
Umar dan Khalid bin Walid, walaupun dibesarkan dalam kabilah yang sama, dengan penampilan yang hampir sama (tinggi besar, kekar, pandai berkuda) tetapi lapangan kejeniusan Umar berbeda dengan Khalid. Khalid sangat terkenal dengan kejeniusannya di peperangan-peperangan yang menentukan dalam sejarah Islam. Sedang kejeniusan Umar membentuk keadilan, administrasi dan penantaan khilafah Islam ketika itu.
Hal yang juga menarik adalah kontras antara dua wujud perkembangan masyarakat di masa Abu Bakar, Umar dan masa Ustman maupun Ali. Sejauh yang penulis pahami dari buku mengenai Ustman dan Ali (dalam konteks ini kita sedikit keluar dari seri dengan tajuk kejeniusan, dengan memasukkan dua tokoh Ustman dan Husein bin Ali), Al-‘Aqqad cenderung mengafirmasi determinasi sosial (perubahan, evolusi masyarakat islam) ketika menjelaskan perubahan bentuk kekhilafahan kepada model kerajaan. Juga kontras antara spirit kedermawanan dan pengorbanan Husein bin Ali dan pragmatisme Yazid bin Muawiyah.
Kontras-kontras yang dimunculkan oleh Al-‘Aqqad ini mengingatkan kita pada metode yang dilakukan oleh Plutarch ketika melakukan synkrisis (perbandingan, komparasi) dalam karya biografisnya yang terkenal, Parallel Lives (Bioi Paraleloi)[11]. Perbedaannya, Plutarch mengkontraskan tokoh Yunani (misal Demostenes, sebagai orator) dengan tokoh Romawi yang setara (misalnya Cicero), sedangkan Al-‘Aqqad mengkontraskan tokoh yang seangkatan dengannya (Abu Bakar, Umar dan Khalid, adalah tokoh seangkatan dan sezaman). Penulisan biografi model Plutarch dapat dikatakan mempengaruhi penulisan biografi Al-‘Aqqad.
[1] The Islamic Trends in The Writings of Abbas Mahmoud Al-‘Aqqad, T. Ushama, Dissertation, Department of Islamic Studies, Aligarh Muslim University, 1979.
[2] Bulan Bintang juga menerbitkan terjemahan buku karya Al-‘Aqqad yang lain (selain seri kejeniusan) diantaranya, Fatimah Az Zahra Ibunda Para Pahlawan, Wanita di Dalam Al-Qur’an, keduanya diterjemahkan oleh Dra. Chadidjah Nasoetion (1976).
[3] Pustaka Firdaus juga menerbitkan terjemahan buku karya Al-‘Aqqad yang lain, Filsafat Al-Qur’an (1986), Manusia Diungkap Qur an (1985)
[4] Ibrahim, Abul Anbiya. Penerbit Turos menerbitkan terjemahan buku ini tahun 2021 dengan judul Sejarah Nabi Ibrahim
[5] Pernah diterbitkan dengan judul ‘Abqariyyatu Al-Masih (Kejeniusan Al-Masih), kemudian diterbitkan dengan judul baru Hayatu Al-Masih (Kehidupan Al-Masih). Lihat ‘Abbas Mahmud al-‘Aqqad’s The Genius of Crist, F. Peter For JR dalam Jesus in Twentieth Century Literature, Art and Movies, hal 175-209.
[6] Pustaka Azzam juga menerbitkan Husein Pejuang Sejati, terjemahan dari Abu Asy-Syuhada Husain bin Ali, pada tahun 2002
[7] Edisi bahasa arab dapat diunduh di https://www.hindawi.org/contributors/64642852/
[8] ‘Abbas al-‘Aqqad: The Historian, Hayfa Khalafallah, The Arab Studies Journal, Spring 1995, pp.80-93
[9]‘Abbas al-‘Aqqad: The Historian, Hayfa Khalafallah, The Arab Studies Journal, Spring 1995, pp.80-93
[10] On Great Man, Thomas Carlyle, Penguin 60s Classics, 1995 hal 1
[11]‘Abbas al-‘Aqqad: The Historian, Hayfa Khalafallah, The Arab Studies Journal, Spring 1995, pp.80-93. Buku Paralel Lives, Buku V dapat dilihat di https://penelope.uchicago.edu/Thayer/E/Roman/Texts/Plutarch/Lives/Demosthenes*.html
