Dahulu, ketika kelas 2 dan 3 SMA, setiap sabtu kami mengadakan acara Nuansa Islam setelah jam pulang sekolah. Pembicaranya alumni satu atau dua tahun di atas kita. Tanpa dibayar, kadang tanpa suguhan, kadang pesertanya juga tidak penuh satu dua kelas (kadang kala hanya dapat dihitung dengan ke-empat jari tangan dan kaki).
Ketika itu, mentoring atau liqa dari rumah ke rumah diisi juga oleh alumni. Bagi kelompok kami, umumnya alumni yang kuliah di PT negeri, di sekitar Jakarta dan Depok. Datang sepulang mereka kuliah, pulang kadang agak larut malam.
Apa yang dicari ? Ilmu, ya ilmu mungkin jawaban yang tepat. Tapi jenis ilmu seperti apa yang dicari. Penyampai ilmu kadang pas-pas-an khazanah ilmunya, maklumlah kuliahnya bidang sains, teknik atau sosial-ekonomi. Kadang tak dapat didefinisikan secara eksak, tapi mungkin dapat dideskripsikan.
Ilmu yang tranformatif, ilmu yang mengubah pribadi. Ilmu yang menginspirasi untuk berubah menjadi lebih baik. Ilmu yang mengilhami mencapai ideal sebagai hamba Tuhan. Ilmu yang meluaskan wawasan untuk lebih kritis memahami keadaan. Ilmu dan belajar sebagai transformasi.
Sekarang, materi dan topik ilmu masih sama. Penyampai lebih berkhazanah dan berkualifikasi ilmu agama. Medium luring maupun daring melimpah ruah. Peserta bisa sangat masif.
Apakah transformasi tercapai ? Apakah perubahan terjadi ?
Jika tidak sesuai dengan ekspektasi kita sebagai juru dakwah, apa problemnya ? Secara sosiologis barangkali ada perubahan kualitas ilmu yang mengikat antara penyampai dan penerima. Ikatannya bukan lagi ikatan transformasi. Ikatannya barangkalai mirip seperti komoditas. Mirip seperti naik turunnya komoditas yang diperdagangkan di bursa. Ilmu dinilai mirip dengan persaingan harga komiditi; siapa penyampai, lulusan mana, orang terkenal atau bukan, jamaahnya banyak atau tidak, lucu atau tidak, materinya kontroversial atau tidak.