Salahudin Al-Ayyubi dan kemenangan perang salib merupakan salah satu potongan sejarah umat yang sering kali dirujuk untuk membuktikan bahwa umat mampu bangkit dan merebut kembali kejayaannya. Kajian-kajian atas kemenangan Salahudin merebut kembali Al-Quds sangat banyak. Namun kajian-kajian terhadap sejarah kemenangan perang salib ini, menurut Majid Irsan Al Kailani, seringkali sekedar menonjolkan aspek figuritas atau heroisme militer untuk memahaminya.
Pendekatan figuritas maupun militer, menurut Majid Irsan Al-Kailani ini memiliki kelemahan. Setidaknya model pendekatan seperti ini akan menjauhkan perhatian dari penyakit utama yang ada dalam tubuh umat yang menciptakan mentalitas layak terbelakang dan kalah (al qabiliyah li at takhalluf wal hazimah). Pemahaman yang menonjolkan aksi individu juga bisa menjauhkan umat dari peran yang harus mereka ambil serta mengandalkan atau menunggu-nunggu munculnya figur pemimpin untuk menyelesaikan masalah.
Studi yang dilakukan oleh Majid Irsan Al Kailani dalam Hakadza Zhahara Jilu Shaluddin Wa Hakadza ‘Adat Al Quds (هكذا ظهر جيل صلاح الدين وهكذا عادت القدس, Beginilah Generasi Shalahudin Muncul, Beginilah Kembalinya Al-Quds), memberikan kita perspektif bagaimana perubahan sosial (atau rekonstruksi sosial) selama lebih dari lima puluh tahun (jarak antara jatuhnya Al Quds ke tangan tentara Salib Eropa hingga kembali ke tangan Umat Islam) memberikan andil besar dalam melahirkan generasi Shalahudin. Shalahudin adalah wakil utama generasi hasil pendidikan atau gerakan reformasi (ishlah) sebelumnya.
Filsafat Sejarah
Majid Irsan Al Kailani menyandarkan penelitiannya pada filsafat sejarah berikut. Filsafat sejarah ini, hemat saya, merupakan filsafat sejarah Bennabi-an (filsafat sejarah berdasarkan pandangan-pandangan yang awal sekali dikemukakan oleh Bennabi, sayangnya Majid Irsan kurang memberikan apresiasi terhadap pencetus awal gagasan ini dalam catatan-catatan kaki di buku ini).
- Sebuah masyarakat terdiri dari tiga elemen utama; pemikiran (afkar), individu manusia (asykhas) dan benda atau materi (asy-ya’). Sehat maupun sakitnya sebuah masyarakat tergantung pada bagaimana interaksi ketiga elemen ini terjadi. Masyarakat mengalami kesehatan jika individu dan materi berporos (memiliki loyalitas) pada pemikiran yang benar.
- Mata-rantai kepelakuan manusia bermula dari niat, pemikiran dan kemauan yang kemudian menjelma menjadi perilaku praktis. Sehingga munculnya fenomena sosial berawal dari muatan-muatan pemikiran yang kemudian melahirkan tujuan, disusul kemauan yang kemudian melahirkan perilaku praktis.
- Perubahan sosial memiliki pola. Pola perubahan itu bermula dari perubahan yang ada pada diri manusia disusul perubahan pada bidang sosial, ekonomi, politik, militer dst, Muatan yang ada pada diri manusia meliputi pemikiran, nilai, budaya, kebiasaan dan tradisi. Perubahan pada diri (baik menuju keadaan lebih baik dan buruk) untuk efektif berlaku secara kolektif. Sejarah perubahan diri ini dapat dilacak pada keterkaitan perubahan pendidikan (pemikiran) dan fenomena-fenomena sosial yang mengikutinya. Dalam praktek strategi perubahan yang dilakukan bergantung dengan unsur keikhlasan dan ketepatan (strategi).
Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib
Berdasarkan filsafat sejarah di atas, Majid Irsan, merekonstruksi kondisi atau pola pemikiran yang berkembang pada masyarakat muslim menjelang serangan kaum Salib. Hal pertama yang menjadi catatannya adalah terjadinya perpecahan pemikiran islam dalam tubuh umat. Fenomena ini bisa dideskripsikan pada munculnya mazhabisme (komunalisme pemikiran atau pemikiran partisan) yang berselisih secara hebat kala itu, dalam aspek aqidah maupun cabang fiqh. Perselisihan mazhab anarkis ini berdampak pada pola pemikiran yang dibentuk atas umat, rusaknya tujuan pendidikan, serta perpecahan dan anarkisme sosial-politik. Selanjutnya pola pemikiran tasawuf dan filsafat yang menyimpang juga memberikan andil besar dalam memformat pola pemikiran umat ketika itu. Iklim pemikiran seperti ini kemudian menjadikan institusi-institusi pemikiran Islam mengalami kejumudan dan menyimpang dari misinya untuk mengarahkan umat.
Dampak Sosial Politik Pola Pemikiran Umat Menjelang Serangan Kaum Salib
Pola pemikiran di atas kemudian memberi dampak pada fenomena sosial umat. Rusaknya aspek ekonomi, karena tidak terformat secara tepat oleh pemikiran, dalam bentuk kemewahan sebagian kalangan konglomerat dan penguasa yang amat kontras dengan kemiskinan banyak rakyat, inflasi yang tinggi. Fenomena kelaparan menjadi gejala yang banyak terjadi kala itu. Anarkisme sosial karena perselisihan antar mazhab muncul dalam bentuk kekerasan-kekerasan yang muncul. Demikian pula aspek politik umat. Tidak banyak tokoh yang memiliki kelaikan untuk menjadi pemimpin umat kala itu. Perpecahan, perseteruan dan kudeta politik merupakan fenomena.
Dalam kondisi seperti ini serangan kaum Salib datang. Secara internal (pemikiran, sosial, politik, ekonomi dan militer) umat tidak memiliki kesiapan. Tidak ada pertolongan yang bisa diberikan untuk umat di sekitar Al Quds ketika itu.
Gerakan Ishlah (Reformasi)
Usaha untuk melakukan reformasi di tubuh umat pasca serangan tentara Salib berusaha dilakukan oleh beberapa tokoh melalui jalur politik, seperti yang dilakukan oleh Nizham Al Muluk. Tetapi efektifitasnya tidak berjalan.
Fase Pertama
Gerakan ishlah (reformasi) selanjutnya, yang dipelopori oleh Imam Ghazali, menggunakan metode al insihab wal ‘audah (retreat dan re-integrasi) untuk melakukan rekonstruksi umat. Metodologi ini dilakukan melalui mundur dari lingkungan sosial politik yang penuh syubuhat, memfokuskan pada upaya membenahi diri untuk mengevaluasi dan memperbarui pemikiran, dan kemudian kembali (al a’udah) ke tengah masyarakat dan memulai proses ishlah.
Gerakan Imam Ghazali ini tidak menyentuh secara langsung jihad untuk membebaskan Al Quds, tetapi lebih ditekankan pada kritik diri untuk mengatasi kondisi kelayakan untuk kalah dari tubuh umat dengan melakukan rekonstruksi pemikiran sebagai langkah awalnya. Selanjutnya Imam Ghazali melakukan kritik sosial atas umat; mulai dari ulama-ulamanya, pemimpin-pemimpin sosial politiknya hingga masyarakat pada umumnya. Imam Ghazali juga mendirikan madrasah untuk mendidik kader-kader umat masa depan, dengan pola pemikiran yang baru.
Sebuah catatan mengenai tidak disentuhnya isu-isu jihad maupun pembebasan Al-Quds oleh Imam Ghazali diberikan oleh Yusuf Qaradhawi. Bagi Yusuf Qaradhawi hal ini cukup membingungkan, kenapa tidak ada kata jihad melawan tentara Salib maupun menggerakkan masyarakat melalui kata maupun pena Al-Ghazali guna melakukan pembelaan. Hingga beliau (Yusuf Qaradhawi) mengungkapkan apakah Al-Ghazali yang faqih terkalahkan oleh Al-Ghazali yang sufi ? Yusuf Qaradhawi kemudian menyimpulkan, dalam prasangka baiknya kepada Imam Ghazali, bahwa Imam Ghazali mengarahkan sebagian besar energinya dalam ishlah al-fard (reformasi, perbaikan individu), yang merupakan inti (nukleus) dari masyarakat, melalui reforamasi hati dan pikirannya sehingga akan baik amal, perilaku, serta kehidupannya. Hal ini merupakan asas perubahan masyarakat.
Fase Kedua
Pada fase kedua ini pengaruh Imam Ghazali diteruskan oleh Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani dengan madrasah dan gerakan reformasinya. Aspek yang ditekankan sama seperti yang ditekankan oleh Imam Ghazali, dengan modifikasi strategi tertentu. Fase kedua reformasi ini ditandai oleh persebaran madrasah islah menjadi kian masif dan distributif. Madrasah pusat (seperti madrasah Abdul Qadir Al Jilani) menjadi pusat pendidikan utama (kaderisasi), madrasah model ini tersebar di banyak kota-kota besar dunia Islam timur ketika itu. Sedangkan madrasah-madrasah yang terletak di daerah pedesaan berfungsi untuk membimbing umat.
Kalangan sufi sering mengatribusikan banyak kejadian-kejadian ajaib (karamah) kepada Syaikh Abdul Qadir Al Jilani. Abul Hasan An-Nadwi memberikan catatan mengenai hal ini. Beliau menyatakan bahwa karamah terbesar dari Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani adalah terisinya hati yang rusak dengan iman, harapan dan antusiasme, melalui ceramah-ceramah yang disampaikan. Beliau mampu menyentuh hati sehingga kehidupan baru dan kepercayaan diri muncul dari para pendengarnya. Banyak riwayat menyatakan ribuan orang, dari beragam kalangan (umat Islam maupun Yahudi dan Kristen) telah taubat melalu beliau. Pandangan mengenai karamah utama ini, menurut An-Nadwi, selaras dengan pandangan yang disampaikan Izzudin bin Abdus-Salam dan Ibn Taimiyah mengenai Syaikh Abdul Qadri Al-Jilani
Dampak Reformasi
Ketika Nurudin Zanki dan Shalahudin Al Ayyubi melakukan reformasi sosial politik ketika itu banyak alumni-alumni madrasah di atas yang mengisi banyak posisi penting. Para ulama (cendekiawan) bergabung dalam institusi politik dan militer. Masyarakat juga sudah memiliki kesiapan untuk menerima reformasi itu. Rekonstruksi sosial-ekonomi-politik kemudian menjadi mudah untuk dilakukan. Puncaknya adalah pada jihad militer untuk mengembalikan Al Quds ke pangkuan umat dengan keberhasilan yang spektakuler dengan kembalinya Al Quds kepada umat Islam pada tahun 1187 M, 88 tahun setelah jatuh ke tentara Salib (1099 M), atau 76 tahun setelah Imam Ghazali wafat tahun 1111 M.
Catatan Rujukan
Pemikiran filsafat sejarah yang mempengaruhi metodologi penulisan buku Dr. Majid Irsan Al Kailani ini, dalam pandangan saya, bisa dilacak sampai ke Malik Bennabi (dan atau Jaudat Said). Walaupun dalam daftar referensi di buku ini buku-buku Bennabi tidak disebutkan. Nama Bennabi muncul sekali ketika membahas gerakan reformasi Imam Ghazali ketika Dr. Kailani mengutip konsep Bennabi mengenai qabiliyah lil isti’mar (kelayakan untuk dijajah).
Judul asli, هكذا ظهر جيل صلاح الدين وهكذا عادت القدس. Ada beberapa edisi penerbitan bahasa arab buku ini, salah satunya diterbitkan oleh IIIT, Virginia, USA. 1995.
Terjemahan bahasa Indonesia terbit dengan judu Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib, terbitan Kalam Aulia Mediatama, 2007. Terjemahan edisi baru, berjudul Model Kebangkitan Umat Islam, terbitan Mahdara Publishing, 2019. Pada tahun 2025 terbit terjemahan Bahasa Inggris dengan judul How the Generation of Salah Al-Din Appeared and Jerusalem Recaptured.
Pendapat pro-kontra mengenai Imam Ghazali dapat dilihat pada buku Yusuf Al-Qar(a)dhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, Dr. Yusuf Qardhawi, Pustaka Progressif, Surabaya. 1996.
Mengenai isi, konsep-konsep pembaruan dari Imam Ghazali dan Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani, dapat juga dirujuk, Saviours of Islamic Spirit 1, karya Abul Hasan Ali An-Nadwi. https://abulhasanalinadwi.org/books/Saviours%20Of%20Islamic%20Spirit%20volume%2001.pdf
Note. Ini adalah revisi tulisan yang pernah dipublikasikan dalam blog, refleksibudi.wordpress.com sebelumnya pada tahun 2008.
