Perjalanan Ikhwanul Muslimun (selanjutnya disingkat IM) sebagai gerakan hampir mencapai usia 100 tahun. Selama rentang waktu ini, IM melalui beragam situasi represi maupun tribulasi. Konsep pemikiran maupun gerakannya telah menginspirasi berbagai gerakan maupun proses kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia, walaupun tidak memiliki afiliasi formal dengannya, setidaknya adalah afiliasi atau afinitas pemikiran dengannya.
Melalui masa-masa yang mencabarkan bagi banyak orang, daya tahan atau ketangguhan IM diakui banyak orang sangat luar biasa. Tidak banyak penelitian mengangkat persoalan daya tahan IM ini dalam riset mereka. Umumnya pendekatan yang digunakan para peneliti lebih politis maupun historis untuk memahami IM. Beberapa penelitian terkait daya tahan IM, mengatribusikan kemantapan dan ketahanan itu pada struktur nilai, gagasan, sasaran, norma, slogan maupun rutinitas yang membentuk identitas kolektif bagi anggota atau aktivisnya[i]. Pembentuk dan perekat identitas itu adalah pemikiran dan pandangan yang dikonstruksi melalui risalah-risalah pembina pertamanya, Hasan Al-Banna.
Salah satu risalah yang memiliki pengaruh besar, dengan salah satu indikasi banyaknya komentar yang diberikan kepadanya, adalah Risalah Ta’alim. Tulisan ini berusaha menggambar peta kognitif untuk memahami nilai penting maupun ide dasar dari Risalah Ta’alim ini. Melalui peta kognitif kita dapat mengidentifikasi identitas kolektif yang membangun kohesifitas organisasi IM maupun yang berafiliasi dengannya.
Tulisan ini membatasi penggambaran peta kognitif ini melalui bahan-bahan yang tersosilasasi dalam bahasa Indonesia, baik dalam bentuk penerjemahan risalah ini sendiri, penerbitan terjemahan komentar (syarah) atas risalah ini, kutipan maupun ulasan yang diberikan oleh tokoh pergerakan Islam di Indonesia atas risalah ini melalui tulisan maupun transkrip ceramah mereka. Dengan demikian apa yang coba digambarkan di sini merupakan bingkai gagasan bagaimana isi risalah ini dipahami sekaligus disosialisasikan dalam konteks masyarakat Indonesia.
Nilai Penting Risalah Ta’alim
Pembahasan pada bagian ini dan bagian selanjutnya akan menggunakan semacam model tanya jawab. Pertanyaan pertama yang mungkin muncul dalam membahas Risalah At-Ta’alim (selanjunya disingkat RT) ini adalah, mengapa risalah ini menjadi penting ? Apa kekhasannya ?
Sa’id Hawwa menyatakan bahwa Hasan Al-Banna merupakan pencetus teori gerakan Islam modern. RT merupakan ijtihad akhir (matang) Hasan Al-Banna dalam bidang pemikiran dan gerakan. Sa’id Hawwa melihat pada RT ini keluasan horizon pemikiran Al-Banna dalam melakukan analisa sejarah dan menggariskan rambu-rambu bagi pembangunan kembali umat. Bagi Sa’id Hawwa, fikrah Hasan Al-Banna adalah satu-satunya fikrah yang representatif untuk memulai proses kebangkitan Islam[ii].
Musthafa M. Thahan, sambil memberikan kritik atas pendapat Sa’id Hawwa terkait dengan IM sebagai jama’ah muslimin alih-alih sebagai jama’ah minal muslimin, menyatakan bahwa Risalah At-Ta’alim (RT) adalah rangkuman yang bersifat mudah, ringkas, padat dan jelas dari berbagai risalah yang ditulis oleh Hasan Al-Banna. Menurut Thahan isi RT dapat dengan mudah dipahami oleh muslim dengan pengetahuan menengah[iii].
Yusuf Qaradhawi menyatakan RT merupakan risalah yang menguraikan sendi-sendi amal harakah atau amal jamai bagi para aktivis (Ikhwan)[iv].
Dalam syarah atas RT ini, Muhammad Al-Khatib mengutip komentar Umar Tilmisani mengenai kesan beliau atas kecermatan memilih kata secara padat, fokus dan jelas dalam risalah ini yang berbeda dengan risalah-risalah Al-Banna yang lain[v].
Jum’ah Amin menyatakan bahwa Risalah Ta’alim, Ushul ‘Isyrin dan Risalah ‘Aqaid merupakan salah satu aspek permanen (tsawabit) dalam IM[vi]. RT merupakan pembentuk identitas jama’ah IM.
Dari perspektif manajemen gerakan dakwah, Hilmi Aminuddin MA dari perspektif manajemen dakwah dan amal islami (gerak perjuangan Islam) menyatakan bahwa kesepuluh rukun bai’ah dalam RT merupakan semacam pernyataan misi bagi jama’ah dakwah. Kemudian beliau membingkai kesepuluh rukun bai’ah dalam RT sebagai basis bagi proses manajemen yang kokoh dalam manajemen amal jama’i (kerja kolektif dalam organisasi dakwah)[vii].
Struktur Risalah At-Ta’alim
Secara tekstual Risalah Ta’alim terdiri dari (1) Pembukaan, (2) Rukun Bai’at, (3) Kewajiban Aktivis, dan (4) Penutup.
Dalam pembukaan Hasan Al-Banna menyatakan bahwa Risalah At-Ta’alim ini ditujukan bagi kalangan khusus dari anggota IM, yang anggota dengan level mujahid. Mengapa Hasan Al-Banna mengkhususkan RT ini hanya bagi kalangan tertentu saja ?
Sa’id Hawwa menyatakan secara metode hal ini sesuatu yang umum, bahkan dalam Al-Qur’an sasaran yang diajak bicara sering ditemui hanya bagi orang yang beriman. Pengkhususan risalah ini menurut Sa’id Hawwa justru menunjukkan kearifan Al-Banna karena tidak semua orang memiliki kesiapan dan kesediaan untuk berkomitmen tinggi kepada Islam.
Mengapa RT ini berbentuk arahan instruktif (fokus) kepada individu ? Karena individu adalah basis gerakan (organisasi). Pandangan yang tidak jelas akan mempengaruhi kemampuan melangkah sebuah gerakan[viii]. Titik tolak mewujudkan barisan dakwah adalah individu yang mengetahui secara jelas tujuan dan sarananya, serta kemauan untuk menyesuaikan diri dalam shaf (barisan)[ix].
Bagi Muhammad Al-Khatib, pembinaan dan pengokohan fondasi melalui pembentukan pribadi muslim adalah langkah awal yang tepat bagi perjuangan Islam.[x]
Mengapa berbentuk bai’at ? Apakah tidak mencukupi bahwa sebagai seorang muslim kita sudah bersyahadat ?
Dalam sebuah tulisan pada Risalah ‘Aam Tarbawi tahun 2002, disebutkan bahwa penggunaan atau pengambilan janji kesetiaan adalah hal yang umum dilakukan, dalam sejarah Islam, ketika ada aktivitas besar atau tujuan besar yang ingin direalisasikan yang memerlukan komitmen tinggi untuk mencapainya. Dapat dicontohkan di zaman Rasulullah ada beberapa proses bai’at terjadi, salah satunya adalah bai’atu ar-ridhwan dalam rangka mengembalikan Utsman bin ‘Affan yang disangka ditawan di kota Makkah[xi].
Sa’id Hawwa menegaskan bentuk ba’iat yang dikonstruksi oleh Hasan Al-Banna ini merupakan salah satu bentuk pembaharuan atas bentuk ba’iat yang umum dikenal pada jama’ah-jama’ah sufi, yaitu bai’at ‘amal (janji setia untuk menjalankan amal-amal tertentu)[xii]. Bai’at yang dicantumkan dalam risalah ini berbentuk bai’at ‘amal yang dibedakan dari jenis bai’at yang berkonotasi kesetiaan secara politis pada Khalifah sebagaimana tercatat dalam sejarah Islam.
Apa yang dimaksud dengan rukun di sini ? Umumnya kita memahami rukun terkait dengan bagian-bagian yang harus ada dalam sebuah aktivitas (salat atau transakasi jual beli misalnya) yang jika tidak dilakukan maka aktivitas itu menjadi tidak sah. Rukun dalam konteks rukun bai’ah di sini mengandung ide mengenai kesatuan yang koheren antara satu pilar (rukun) dengan pilar lainnya. Pelanggaran terhadap satu rukun dapat mengakibatkan cacat bagi amal perjuangan Islam yang dijalankan[xiii].
Apa tujuan dari rukun bai’at ini ? Semua pengulas RT yang dirujuk tulisan ini menyepakati bahwa fokus RT adalah pada pembinaan pribadi muslim aktivis pada zaman ini. Al-Khatib menyatakan bahwa RT merupakan bingkai pemikiran dan aktivitas bagi pribadi muslim pejuang Islam kontemporer (masa sekarang)[xiv], seraya mengutip pendapat ‘Umar Tilmisani, ”Penyebabnya adalah pentingnya posisi dan peran yang diemban oleh risalah tersebut, di mana asy-Syahid ingin menjadikan risalah tersebut sebagai sarana pembangun barisan mukmin yang sehat”. Yusuf Qaradhawi menyatakan bahwa melalui rukun bai’ah dalam RT seorang aktivis berpindah dari anggota partisipatif kepada anggota aktif (akhun ‘amilun)[xv]. Sedangkan Sa’id Hawwa menyatakan bahwa tujuan RT, melalui rukun bai’atnya, adalah membentuk sosok muslim modern dengan kualitas mujahid[xvi].
Koherensi Antar Pilar
Mengacu pada penjelasan, syarah (tertulis maupun berupa transkrip) dari para tokoh dakwah yang dijadikan rujukan pada tulisan ini, kita dapat mengelaborasi koherensi antar rukun (pilar) sebagaimana dijelaskan di bawah ini.

Secara visual kesepuluh rukun bai’at atau pilar-pilar komitmen seorang aktivis Islam dapat digambarkan seperti di bawah ini[xvii].
Rukun pertama adalah al-fahm (pemahaman). Kenapa bermula dari sini ? Dalam tradisi Islam kita, ilmu mendahului perkataan dan perbuatan. Hal ini terkait dengan skala prioritas.
Kenapa tidak diungkapkan dengan ilmu ? Menurut Yusuf Qaradhawi, Hasan Al-Banna mengungkapkan aspek ini melalui tujuan yang ingin dicapai, kepahaman adalah tujuan dari ilmu[xviii]. Ilmu sesungguhnya bukan dengan banyaknya hafalan tetapi dalamnya pemahaman. Pemahaman dalam konteks ini adalah prinsip pengetahuan.
Rukun ikhlas merupakan prinsip motivasi. Motivasi internal yang memberi energi untuk selalu bekerja. Ikhlas bersumber dari pemahaman tauhid.
Sebagaimana dijelaskan sendiri oleh Hasan Al-Banna, rukun amal adalah buah dari pemahaman dan keikhlasan. Tertib amal di sini mulai dari memperbaiki diri hingga menjadi guru peradaban. Rukun atau pilar ini merupakan rukun utama (soko-guru) karena menjadi inti dari risalah ini. Tertib atau peringkat amal ini merupakan refleksi dari tujuan atau cita-cita yang menjadi acuan aktivitas dakwah para aktivis. Rukun-rukun setelah amal merupakan ekstensi (perluasan) dari pilar amal ini.
Amal yang dituntut untuk dijalankan bukan sekedar amal yang dikerjakan sekedarnya saja, tetapi memiliki keunggulan, kesungguhan dan kualitas. Makna ini terangkum dalam pilar jihad.
Rukun pengorbanan (ath-tadh-hiyah), muncul setelah rukun jihad karena untuk mencapai keunggulan (amal) perlu pengorbanan. Pengorbanan adalah spirit untuk selalu memberi (ruhul badzl). Pepatah mengatakan, tidak ada jihad tanpa pengorbanan.
Kepatuhan (ath-thaat), merupakan rukun yang membingkai amal yang penuh kesungguhan dan pengorbanan kepada arah dan strategi organisasi dakwah. Semangat yang menggebu, pengorbanan yang banyak tidak boleh salah arah. Kerja (amal) dilakukan secara kolektif, dalam organisasi, ada kerangka strategi yang perlu diperhatikan. Taat berarti kepatuhan terhadap strategi yang telah ditetapkan.
Keteguhan (ast-tsabat) sebagai rukun selanjutnya setelah kepatuhan (taat) meminta aktivis untuk memperhatikan bahwa perjuangan dalam rangka strategis yang sudah digariskan memerlukan waktu yang panjang. Dengan demikian diperlukan determinasi diri, kesabaran, konsistensi dan istikamah dalam menjalaninya. Hasan Al-Banna mengikatkan bahwa waktu adalah bagian dari solusi.
Totalitas (al-tajarrud) merupakan pembebasan dari dari fikrah-fikrah (ideologi) lain dan membulatkan diri dalam mendukung fikrah Islam. Ini merupakan prinsip loyalitas.
Amal-amal penuh kesungguhan dalam rangka ketaatan strategis dakwah tidak dilakukan dalam kesendirian, tetapi bersama dengan yang lain. Rukun al-ukhuwah (persaudaraan) menautkan hati para aktivis guna berpadu dengan ikatan jamaah, bedasarkan akidah. Dimulai dari lapang dada (salamatus shodr) hingga mengutamakan orang lain (itsar).
Dalam menjalankan amal islami secara berjamaah ada kepemimpinan di dalamnya. Kepercayaan (ats-tsiqah) adalah tenangnya hati terhadap kompetensi dan kejujuran pemimpin. Peran pemimpin dalam beramal islami, gerak bersama dalam jamaah adalah sebagai orang tua dalam ikatan hati, guru dalam memberi ilmu, syaikh dalam pendidikan ruhani dan komandan dalam menentukan kebjakan dakwah. Kepercayaan adalah proses timbal balik, kepercayaan muncul karena kelayakan untuk dipercaya.
Peta Kognitif dan Aktivitas, Basis Identitas Diri Aktivis Dakwah
Peta Kognitif Risalah Ta’alim
Identitas bagi seseorang akan memberikan makna bagi aktivitas yang dilakukannya. Makna ini ditentukan oleh keyakinan maupun nilai yang dimiliki oleh seseorang. Nilai berarti apa yang diyakini penting bagi seseorang. Nilai akan memberikan arah dan pedoman bagi perilaku seseorang[xix].
Keyakinan dan nilai bersifat ideasional. Kerangka bagi sistem kognitif (ideasional) ini dapat meliputi tujuan, sasaran, fase kerja dan perangkat maupun simbol dan norma. Kita dapat memetakan sistem kognitif (ideasional) bagi identifikasi diri aktivis dakwah dalam gerakan Islam sebagaimana akan diterangkan pada bagian berikut ini.

Sistem kognitif di sini kita batasi dari yang dapat kita induksi dari rukun-rukun bai’at di dalam Risalah Ta’alim.
- Referensi (maraji’). Aktivitas seseorang berbasis pada ilmu dan pemahaman. Ilmu memiliki sumber-sumbernya (basis referensi). Aktivis dakwah juga merupakan bagian dari umat dengan warisan pemikiran, sejarah, budaya dan peradabannya. Aktivis dakwah akan dihadapkan oleh keragaman pemikiran, sikap, persepsi maupun tantangan kehidupan secara sosial dan peradaban. Seorang aktivis perlu membingkai pemahaman kognisinya atas itu semua agar dapat mensikapi semuanya dengan tepat. Pemahaman kognitif ini meliputi aspek epistemologis, metodologis, aksiologis. (1) Aspek epistemologis, yaitu terkait sumber pengetahuan, mana sumber yang memiliki validitas, mana yang bukan merupakan sumber. (2) Aspek metodologi berinteraksi dengan sumber-sumber itu; bagaimana mengelaborasi sumber-sumber pengetahuan/pemahaman itu, apa yang perlu dilakukan jika tampak adanya pertentangan antar dalil atau sumber pengetahuan. (3) Aspek terapan (aksiologi) etis atas pengetahuan itu; bagaimana penerapan pengetahuan itu secara operasional, bagaimana perbedaan pendapat perlu disikapi. Bingkai pemahaman dasar (aspek epistemologis, metodologis dan aksiologis pengetahuan) itu dirangkum dalam Ushul ‘Isyrin (Dua puluh prinsip pemahaman Islam Ikhwanul Muslimun), yang menjadi isi bagi rukun pemahaman.
- Tujuan (ghayah). Tidak dijelaskan secara eksplisit terkait dengan tujuan, tetapi dalam rukun kedua (rukun ikhlas) disebutkan, bahwa “dengan demikian anda memahami arti slogan kita Allah tujuan kami.” Allah sebagai tujuan dapat dimaknai dengan bahwa perjuangan yang dijalankan oleh sebuah jama’ah dakwah adalah sebuah perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah (li-i’lai kalimatillah). Said Hawwa menyatakan secara lebih khusus mengenai misi (muhimmat) yang diemban oleh IM yaitu melakukan proses pembaharuan Islam (tajdid) dan melakukan proses transformasi (naql) sosial[xx]. Proses pembaharuan dilakukan melalui proses gerakan menyeluruh untuk mencapai target-target yang ditetapkan. Proses transformasi merupakan proses mengubah pribadi dan masyarakat muslim menuju lingkaran loyalitas yang semakin mendekat kepada Islam.
- Sasaran (ahdaf). Sasaran dakwah ditetapkan dalam rukun amal. Mengapa sasaran ditempatkan dalam rukun amal ini ? Menurut Sa’id Hawwa hal ini karena memang sasaran di sini merupakah hal yang harus diperjuangkan. Tabel berikut mendeskripsikan sasaran dakwah yang dikonseptualisasikan sebagai peringkat-peringkat amal (maratibul ‘amal)[xxi].
| I | Memperbaiki diri |
| II | Membina rumah tangga muslim |
| III | Membimbing masyarakat |
| IV | Memperbaiki pemerintahan |
| V | Membebaskan tanah air |
| VI | Mengembalikan eksistensi internasional umat Islam |
| VII | Keguruan atas dunia |
- Sarana (wasilah). Tidak secara eksplisit disampaikan beragam sarana yang diperlukan untuk pencapaian sasaran di atas. Melalui deduksi kita bisa mendapatkan kesimpulan berikut, dari tujuan risalah ini sebagai dasar bagi pembentukan kepribadian Islam sesuai dengan visi jamaah, maka sarana utama tentu saja adalah pendidikan (tarbiyah). Sarana utama lain adalah jamaah itu sendiri, untuk menjalankan sasaran-sasaran pada peringkat yang lebih luas dari pribadi dan keluarga. Sarana-sarana yang lebih operasional dapat ditemukan secara induktif dari risalah-risalah lain yang terkumpul dalam bunga rampai karangan Hasan Al-Banna, Majmu’ah Rasail (Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin).
- Tahapan (marhalah). Tahapan atau fase dakwah dapat dipahami dalam dua konteks, (1) penahapan strategi gerakan dan (2) penahapan proses afiliasi seseorang kepada organisasi (jamaah) dakwah. Tahapan dakwah ini, di dalam rukun taat, dibagi menjadi tiga, (1) ta’rif, penyebaran fikrah Islam di tengah masyarakat melalui organ-organ jamaah yang ada, (2) takwin, melakukan seleksi bagi anasir yang dapat memikul beban dakwah dan perjuangan, (3) tanfidz, tahap perjuangan yang kontinu untuk merealisasikan sasaran-sasaran dakwah. Secara eksplisit disebutkan dalam RT bahwa fase tanfiz, operasional telah dijalankan pada 1359 H. Sebagai penahapan afiliatif seseorag kepada jamaah, fase ta’rif mengelola mereka yang memberikan afiliasi positif bagi dakwah (penghormatan terhadap fikrah), fase takwin merupakan pembentukan kader pejuang, dengan komitmen spiritual sufi murni dan komitmen operasional keprajuritan total, sedangkan fase tanfiz memerlukan kualifikasi pejuang dengan ketaatan total. Bagi Said Hawwa, dari perspektif tarbiyah (pendidikan, kaderisasi), ketiga tahapan ini merupakan hal yang sifatnya integratif.
Aspek lain dalam RT adalah hal terkait dengan norma, kewajiban maupun simbolisasi dalam rupa slogan akan kita dapatkan pada bagian Kewajiban Aktivis dan Penutup risalah ini.
Peta Aktivitas/Kebiasaan dalam Risalah Ta’alim
Kewajiban-kewajiban aktivis mendaftar 38 aktivitas maupun kebiasaan yang perlu dijalankan sebagai konsekuensi logis atas keyakinan pada kesepuluh rukun baiat di atas. (Umumnya hal ini dikenal sebagai 40 kewajiban, walaupun jumlahnya 38). 38 Kewajiban ini merupakan aspek operasional dari sepuluh pilar komitmen di atas[xxii].
Muhammad Abdullah Al-Khatib dalam syarahnya melakukan pemetaan antara sifat (muwashafat) seorang aktifis yang tercantum dalam maratibul ‘amal pertama, perbaikan pribadi (ishahul fardi), pada pilar amal[xxiii].
| Sifat (Muwashafat) | (No.) Kewajiban |
| Qawiyul-jism
Fisik yang kuat |
3, 4, 5, 27, 30, 35 |
| Matinul-khuluq
Akhlak yang kokoh |
6, 7, 9, 10, 11, 13, 17, 18, 32, 34 |
| Mustaqaful-fikr
Pikiran yang terdidik |
14 |
| Qadir ‘alal-kasbi
Memiliki kapasitas berusaha |
15, 16, 17, 21 |
| Salimul-aqidah
Akidah yang benar |
(Dua prinsip pada rukun paham) |
| Sahihul-‘ibadah
Ibadah yang tepat |
1, 2, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32 |
| Mujahidun li-nafsihi
Mampu mengendalikan (hawa) nafsu |
8, 32 |
| Harishun ‘ala waqtihi
Ketat mengatur waktu |
31 |
| Munazhamun fi syu-u-nihi
Teratur dalam semua urusan |
5, 24, 23 |
| Nafi’un li ghairihi
Bermanfaat bagi selainnya |
12, 36 |
Slogan Aktivis Dakwah
Dalam penutup risalah ini Hasan Al-Banna menuliskan kesimpulan semua yang telah disampaikannya dalam lima frase (kalimat) atau slogan. Lima slogan itu adalah (1) Allah Ghayatuna (Allah tujuan kami), (2) Ar-Rasul Qudwatuna (Rasulullah teladan kami), (3) Al-Qur’an Syir’atuna (Al-Quran syari’at kami), (4) Al-Jihad Sabiluna (Jihan jalan kami), (5) Asy-Syahadah Umniyatuna (Mati syahid cita-cita kami).
Al-Banna juga menyimpulkan manifestasi (mazhahir) dari prinsip-prinsip itu dalam lima kata; (1) kesederhanaan (al-basathah), (2) tilawah (membaca Al-Quran), (3) salat, (4) keprajuritan (al-jundiyah), dan (5) akhlak.
Bagaimana hubungan antara dua kesimpulan yang disampaikan Hasan Al-Banna ini ? Dari penjelasan di atas lima kata (kesederhanaam, tilawah, salat, keprajuritan, dan akhlak) yang disebut sebagai mazhahir, manifestasi zahir (kasat mata, mazhahir). Yang dapat kita tafsirkan sebagai aspek-aspek tampak dan terlihat oleh banyak orang atau aspek psikomotorik dari seorang individu. Sedangkan lima frase slogan lebih merupakan slogan yang menyimpulkan aspek pemikiran (kognitif), motivasi (konatif), mental (afektif) dan spiritual seorang individu.
Lima slogan, dapat ditafsirkan sebagai kesimpulan kesepuluh pilar komitmen (arkanul ba’iah), sedangkan lima kata sebagai kesimpulan dari empat puluh kewajiban. Simpulan ini berdasarkan analisis tekstual atas ungkapan kesimpulan pada penutup risalah maupun isi dari sepuluh pilar komitmen dan empat puluh kewajiban.

Penutup
Risalah Ta’alim sebagai bingkai pemahaman para aktivis dakwah memberikan kepada mereka kesatuan identitas dalam gerakan. Tulisan ini mencoba melakukan deskripsi analitis terhaadap isi dari risalah ini. Bagaimana nilai-nilai dalam risalah ini disosialisasikan, kemudian dibingkai untuk memahami fenomena-fenomena sosial politik yang dialami gerakan dakwah serta memberi daya tahan pada gerakan dalam melalui ragam situasi yang ada merupakan pertanyaan menarik bagi analisis sosiologis. Tulisan ini tidak berpretensi untuk meneliti lebih lanjut ke arah sana.
Salah satu tantangan operasionalisasi nilai-nilai ini di dalam organisasi dapat berbentuk ketegangan antara kreatifitas individu dan batasan-batasan kelompok. Nilai-nilai bagi sebuah organisasi bersifat ‘meluruskan barisan’ (membangun alignment). Persepsi psikologis individu (aktivis) atas ketegangan antara individualitas dan kolektifitas dapat selalu dirasakan oleh aktivis, walaupun tidak selalu disadari atau dieksplisitkan dalam tindakan.
Sebagai hal yang telah baku (permanen), operasionalisasi nilai-nilai ini dapat memunculkan tantangan lain. Tampak secara jelas dalam beragam ungkapan pada risalah ini tekanan besar ada pada aktivisme (pengarus-utamaan amal). Secara deduktif kita dapat membangun hipotesis bahwa tensi intelektualisme akan menjadi berkurang. Intelektualisme bagi perseorangan mungkin dapat tumbuh, tetapi sebagai sebuah kelompok intelektual (dengan budaya intelektual bebas yang dipahami umum) mungkin tidak mudah untuk bertumbuh. Hal ini juga perlu penelitian lanjutan yang bersifat sosial untuk memahaminya.
[i] Khalil Anani dalam The Power of the Jama’ah : The Role of Hasan Al-Banna in Constructing the Muslim Brotherhood’s Collective Identity, dari Sociology of Islam 1(2013) hal 41-63, meneliti mengenai aspek-aspek kognitif dari karya Al-Banna dalam pembentukan identitas IM. Namun tampak ia melakukan abstraksi konsep terlalu jauh untuk mendefinisikan aspek-aspek nilai, tujuan, sasaran. Konsep yang mungkin justru tidak terpahami oleh para aktivis IM maupun yang berafiliasi dengannya.
[ii] Membina Angkatan Mujahid, Fi afaqi At-Ta’lim, Intermedia, 2021 (MAM), hal 1
[iii] Pemikiran moderat Hasan Al Banna, Musthafa M. Thahan, Harakatuna, 2007, (PMH) hal 2-3
[iv] Menuju Kesatuan Fikrah Aktivis Islam, Dr. Yusuf Qardhawi, Robbani Press, 1993 (MKF), hal 8
[v] Nazharat Fi Risalah Ta’alim, Syarah Risalah Ta’alim, Al-I’tisham, 2018 (NRT), hal xii
[vi] Ats-Tsawabit Wal-Mutaghayyirat, Konsep Permanen dan Fleksibel Dakwah Ikhwan, Jum’ah Amin, Al I’tishom, 2013, hal 130-133.
[vii] Strategi Dakwah Gerakan Islam, Hilmi Aminduddin M.A, Tarbiatuna, 2003 (SDGI), hal 106-109
[viii] MAM hal 4 dan 7
[ix] MAM hal 4 dan 7
[x] NRT hal 11
[xi] Risalah ‘Am Tarbawi 2002, sayang sekali cetakan risalah ini hilang, sehingga kutipan maknawi di atas hanya mengacu pada ingatan.
[xii] MAM hal 5-6
[xiii] MAM hal 6
[xiv] NRT hal xii-xiii
[xv] MKF hal 8
[xvi] MAM hal 7, 9 dan 11
[xvii] Konsep koherensi antar rukun disini merujuk pada apa yang dituliskan dalam sebuah Risalah ‘Am Tarbawi 2002 dan SDGI oleh Hilmi Aminuddin M.A
[xviii] MKF, hal 26-27
[xix] 9 Karakter Guru Efektif, Jacquie Turnbull, Esensi, 2013, hal 9-11
[xx] MAM hal 43, lihat juga PMH hal xvi
[xxi] Lihat lebih lanjut dalam artikel penulis, https://refleksibudi.com/maratib-al-amal-perbandingan-terjemahan-bahasa-indonesia/
[xxii] MAM hal 253
[xxiii] NRT hal 163-195, lihat lebih lanjut dalam artikel penulis, https://refleksibudi.com/sepuluh-muwashafat-pribadi-muslim-hasan-al-banna-sebuah-misi-perbaikan-diri/
