Pendahuluan
Tulisan ini merupakan bentuk refleksi atas pembacaan terhadap risalah yang berjudul Dakwah Kami di Zaman Baru karya Hasan Al-Banna. Judul asli risalah ini adalah Dakwatuna fi Thaurin Jadid.
Penulis mencoba menautkan tema-tema tersebar dalam kategori tertentu, kemudian mencoba menemukan koherensi antar tema. Dalam mengungkapkan muatan konsep-konsep dalam risalah yang dibahas ini, penulis membandingkan beberapa terjemahan yang tersedia dengan sekali-kali merujuk pada teks asli dalam bahasa Arab (dari terjemahan dengan dua bahasa). Terjemahan istilah atau ungkapan tertentu dipilih setelah dibandingkan dengan yang lain dan dinilai lebih mencerminkan muatan konseptual yang diinginkan. Karena sifatnya reflektif, tulisan ini tidak banyak mengutip secara tekstual, tetapi membuat eksposisi sesuai pemahaman penulis.
Berdasarkan titi mangsanya risalah ini pertama kali terbit pada tahun 1942 dalam majalah dua mingguan Al-Ikhwan Al-Muslimun. Penerbitan kedua pada tahun 1948, dengan beberapa tambahan, pada koran harian Al-Ikhwan Al-Muslimun.
Konteks sejarah munculnya risalah ini dengan demikian pada masa beberapa saat menjelang perang dunia II, saat perang dunia II memasuki tahap awal (bagi penerbitan pertama), dan pasca perang dunia II (bagi penerbitan ke-2). Konteks pemikiran pada masa-masa ini adalah era munculnya beragam ideologi sosialisme, komunisme dan nasionalisme yang merata muncul di dunia Islam, dalam perjuangannya membebaskan diri dari penjajahan Barat. Memahami konteksi ini dapat membantu kita memahami isu-isu pemikiran yang dimunculkan dalam risalah ini.
Memahami secara kronologis kemunculan risalah ini, sebagai terbitan berseri dalam majalah atau koran dapat membantu kita memahami konteks pembicaraan pada sub-bab tertentu yang ternyata merupakan perincian pada pokok pembahasan sebelumnya. Hal ini terutama sekali membantu karena pada sebagian terjemahan, kalimat atau paragaf pengait antar ide kadang hilang, sehingga koherensi pembicaraan seolah-olah tampak melompat atau topik baru tiba-tiba dibicarakan seolah muncul tanpa terkait sama sekali dengan pembicaraan sebelumnya.
Latar Belakang Penulisan Risalah Ini
Kemunculan zaman baru, dalam hal ini besar sekali merujuk pada situasi pasca PD II, perlu refleksi bagi Al-Ikhwan Al-Muslimun (selanjutnya disingkat IM) untuk menegaskan kembali visi, pemahaman dan sasaran bagi dakwahnya.
Tantangan dakwah (secara pemikiran-ideologi) pada era sebelumnya, sebelum kemunculan dakwah IM, adalah fenomena berpalingnya banyak orang dari pemikiran (fikrah-ideologi) Islam dan kagum terhadap pemikiran barat yang materialistis. Dakwah IM secara umum telah menyentuh bagian mayoritas dari umat. Mayoritas umat masih memiliki keyakinan kepada Islam, keyakinan yang penuh harapan dan semangat membara. Sementara sebagian yang lain, kalangan elit-intelektual banyak menjadi propagandis pemikiran (ideologi) impor.
| Catatan tambahan :
Hasan Al-Banna memberikan penilaian terhadap realitas umat bahwa realitas umum kaum muslimin masih meyakini agamanya. |
Kemunculan PD II memberikan guncangan besar bagi ideologi-ideologi modern ini, sehingga umat manusia merasa perlu untuk mengkaji ulang, melakukan rekonstruksi pemikiran atas sistem hidup, asas peradaban dan kebudayaan mereka.
| Catatan tambahan :
Efek keguncangan karena Perang Dunia II pada masyarakat Barat (Eropa) pada level filosofis-intelektual pada narasi-narasi krisis kebudayaan dan kemunculan filsafat eksistensialisme, yang menegaskan nilai eksistensi manusia individual alih-alih totaliterisme negara kapitalis maupun komunis. |
Kondisi ini, guncangan pemikiran dan beragam upaya pencarian alternatif sistem baru, menjadi batu ujian tersendiri bagai IM. Hasan Al-Banna menyampaikan perlunya IM untuk menjelaskan substansi dakwahnya, menarik dan mengimpun pemikiran umat kepadanya. Penjelasan juga diperlukan, guna menghilangkan keraguan dan salah-paham tentang karakteristik, tujuan, sasaran dan sarana dakwah IM serta metodologinya dalam memecahkan persoalan umat.
Perspepsi yang terang, jelas tentang dakwah IM adalah kepentingan banyak orang. Terangnya tujuan dan metodologi pemecahan masalah akan membuat masyarakat menjadi penuh harap, cinta dan siap untuk merealisasikan dakwah tersebut. Penerangan tidaklah cukup dengan membangun retorika, pidato-pidato maupun agitasi massa semata, tetapi penerangan yang bertolak dari basis ilmiah serta argumen ilmiah.
Karakteristik Dakwah
Karakteristik dakwah dapat dimaknai sebagai kekhasan yang dimiliki oleh dakwah IM, ciri pembeda dengan seruan-seruan dari beragam ideologi yang ada. Ia semacam pandangan umum atas realitas yang menjadi basis bagi pemikiran-pemikiran lanjutan dari IM. Memahami karakteristik utama dakwah ini penting, agar setiap kader IM memiliki persepsi yang jelas dan argumentatif atasnya.
Rabbaniyah. Maksud rabbaniyah adalah bahwa poros utama dakwah ini adalah bagaimana (mengajak kembali) manusia mengenal Tuhannya (ma’rifatullah) dan membangun ikatan transendetal dengan Allah SWT (shilah-billah). Melalui ikatan inilah tegak spiritualitas (ruhaniyah) yang mensucikan dan memuliakan kehidupan manusia.
Sepanjang sejarahnya manusia mendekati dan menafsirkan realitas kehidupannya berdasarkan corak pemikiran tertentu. Setidaknya ada dua corak pemikiran dasar dalam menafsirkan realitas, di mana kemudian Islam (corak ke-tiga) menjadi alternatif penyelesaiannya.
- Tafsir mitis dan mistis atas realitas.
Dalam pandangan ini dunia ini dipandang penuh dengan tenaga-tenaga gaib yang tidak terlihat, yang mengendalikan dunia ini. Pandangan terhadap alam ini berdasarkan mitos, khurafat (tahayul) maupun kepercayaan-kepercayaan terhadap kekuatan pengendali bagian -bagian alam dan kehidupan. Manusia seolah menjadi tawanan bagi tenaga dan keguatan gaib ini.
- Tafsir materialistik atas realitas.
Dalam pandangan ini, alam ini hanyalah substansi materi belaka. Tidak ada kekuatan gaib di dalamnya. Semuanya serba-benda, peristiwa-peristiwa muncul dan tenggelam berdasarkan kausalitas mekanis belaka. Rahasia alam dapat diungkap melalui metodologi empiris dan rasional. Pengetahuan ilmiah yang sah tentang realitas hanyalah pengetahuan melalui metode empiris (eksperimental)-rasional. Hanya interpretasi (tafsir empiris) terhadap peristiwa alam saja yang sah sebagai tafsir.
Puncak pemikiran materialistik ini adalah pengingkaran atas keberadaan Tuhan, kenabian, dan adanya hari akhir. Bagi keyakinan seperti ini, poros kehidupan juga menjadi bersifat material, manusia semata-mata makhluk material (tidak ada ruh di dalamnya), motif hidupnya juga semata-mata motif material (cari makan atau pemuasaan seksual), cara pandangnya atas alam dan rahasia alam berdasarkan sebab-akibat material, yang bisa dianalisis secara mekanis (tidak ada faktor-faktor transendetal bagi peristiwa-peristiwa alam dan kehidupan).
Corak pemikiran materialistik ini adalah corak pemikiran yang dominan di dunia Barat, dan berpengaruh besar dalam membentuk dunia modern saat ini. Transmisi corak pemikiran ini terjadi seluruh penjuru dunia, seiring fenomena kolonialisasi dahulu dan globalisasi di masa-masa modern.
Walaupun pada zaman ini corak materialistik begitu dominan (lebih-lebih di dunia Barat), dua corak ini tidak harus dipahami sebagai tahap-tahap yang berbeda, dimana setelah satu tahap selesai, dan menuju tahap lain maka tahap selanjutnya ditinggalkan. Pada kenyataannya, kita dapat mendapati corak berpikir seperti ini campur aduk di dalam masyarakat (termasuk masyarakat kita).
- Tafsir Islam atas realitas.
Bahwa metodologi ilmiah telah mampu mengungkap rahasia-rahasia alam, tidak dapat kita sangkal. Namun, misteri alam masih begitu banyak yang belum terpecahkan secara rasional, yang kadang memaksa kita untuk terus mencari pemahaman. Bahwa kemajuan material, karena terapan ilmu dan teknologi, telah banyak dicapai dan memberi manfaat besar bagi manusia, namun kemajuan materi tidaklah identik dengan kebahagiaan hidup manusia. Pada taraf tertentu materialisme itu berubah menjadi tirani terhadap jiwa manusia. Tirani materialisme membuat jiwa manusia terperangkap dalam kehampaan dan kegersangan nirmakna. Karena manusia tercerabut dari dasar, pusat jiwanya (ruh).
Islam mengakui eksistensi yang gaib, menyatakan adanya relasi dunia ini dengan Allah dan adanya realitas akhirat. Islam menjelaskan problem metafisis ini dengan penjelasan (melalui wahyu) yang tidak menentang aksiomatika akal (logika) manusia. Pada saat yang sama, Islam mengakui eksistensi dunia material sebagai realitas nyata, mengajak memahaminya melalui ekplorasi, penelitian, penemuan dan pemanfaatannya demi kebaikan kehidupan. Alam semesta adalah bagian dari ayat-ayat Allah.
Metode Islam dalam memahami realitas adalah metode integratif antara keimanan kepada yang gaib dan pendayagunaan kemampuan akal-rasional. Visi Islam terkait dengan wahyu dan akal adalah visi rekonsiliatif, bukan visi kontradiksi antara satu dengan yang lain. Realitas bukan hanya yang empiris (syahadah), tetapi juga ada realitas gaib.
| Catatan tambahan :
Visi rekonsiliatif iman dan akal ini disampaikan Hasan Al-Banna secara umum. Kita perlu berhati-hati ketika mencoba mencari rekonsiliasi pada isu-isu detail dan memerlukan kepakaran tertentu. Misal, dalam kasus teori evolusi yang saat ini menjadi dasar bagi biologi dan genetika modern. Penolakan serta merta terkait ini, tanpa ada solusi bagi masalah-masalah ilmiah mendetail akan berdampak buruk bagi umat. Apalagi sampai ada pelarangan pengajaran teori ini di sekolah atau kuliah hanya karena takut dikuti oleh generasi Islam. |
Dakwah IM adalah dakwah rabbaniyah. Dakwah yang mengajak beriman kepada Allah, makrifat kepada-Nya, membangun hubungan kepada-Nya (melalui cinta dan ibadah).
‘Alamiyah. Dakwah IM selain berkarakter rabbaniyah juga berkarakter ‘alamiyah. Dakwah ini adalah dakwah universal karena ditujukan kepada seluruh umat manusia. Manusia pada asalnya adalah bersaudara. Semua manusia memiliki martabat yang sama. Dakwah ini adalah kontra dari rasialisme, chauvinisme (fanatisme kebangsaan yang menafikan bangsa lain, bangsa sendiri bangsa unggul, bangsa lain lebih rendah dan harus tunduk pada bangsanya) maupun segregasi sosial atas warna kulit.
Karakter ‘alamiyah dapat disetarakan dengan konsep internasionalisme dan humanisme. Pergaulan internasional berdasarkan prinsip persaudaraan dan keadilan universal (bagi semua). Sikap rasialis maupun chauvinis berakar pada ilusi dan kecerobohan pemikiran. Pergaulan internasional beradab tidak dapat berdiri pada asas-asas ilutif seperti ini.
Kenapa karakter ini menjadi karakter khas dakwah IM ? Alasan utama adalah karena ia adalah karakter Islam itu sendiri. Dakwah Rasulullah ditujukan bagi manusia seluruhnya. Ini adalah karakter umum (dalam arti sifat menyeluruh bagi semua) dari dakwah; seruan persaudaraan antar manusia dan mengusahakan kebaikan antar mereka.
Dalam konteks pembicaraan mengenai karakteristik ‘alamiyah ini, banyak pertanyaan mengenai posisi beberapa gagasan atau paham seperti nasionalisme, arabisme, paham ketimuran maupun internasionalisme dalam dakwah IM. Hasan Al-Banna menjelaskan posisi gagasan ini dalam dakwah IM.
- Nasionalisme (di negeri-negeri Islam) memiliki posisi istimewa, karena ia terkait dengan faktor tanah, kehidupan dan sejarah bagi para umat Islam. Di negeri-negeri Islam, agama (Islam) merupakan faktor pembentuk kehidupan mereka. Menafikan Islam sebagai faktor kebangsaan tidaklah dapat diterima. Kejayaan maupun keagungan masa lalu (sebelum Islam datang –misal masa jaya kerajaan Mesir Kuno) merupakan bagian sejarah yang tidak perlu ditolak, ia tetap menjadi khazanah pengetahuan dan peradaban. Tapi memberlakukan gagasan ini secara operasional sebagai ideologi bagi sebuah bangsa dengan menafikan peran Islam akan selalu ditolak oleh IM. Bagi IM, perjuangan bagi bangsa merupakan lingkaran (halqah) awal bagi serial proses kebangkitan dan memperbaiki (ishlah) umat.
- Arabisme juga memiliki tempat karena faktor kedudukan istimewa bangsa arab sebagai pembawa obor Islam awal. Tetapi faktor utama arabisme adalah faktor bahasa.
- Paham ketimuran, walaupun merupakan paham yang dimunculkan oleh Barat untuk menegaskan superioritasnya, karena faktor sejarah perlawanan terhadap kolonialisme selama tegak dengan gagasan kerja-sama (fikrah ta’awun) yang adil adalah faktor (bagian) dari dakwah IM.
- Internasionalisme dan humanisme merupakan lingkaran (halqah) akhir dalam tujuan dakwah IM. Cepat atau lambat dunia akan mengarah kepada kesatuan global. Pergaulan internasional, secara global, perlu tegak di atas kepahaman yang menyatukan, lepas dari fanatisme sempit maupun rasialisme.
| Catatan tambahan :
Karakter ‘alamiyah (insaniah/kemanusiaan) dakwah ini memberikan kita perspektif untuk concern terhadap isu-isu kemanusiaan yang terjadi, seperti kemiskinan, kebodohan (kebutahurufan), kekerasan dan penindasan hak-hak asasi manusia, kelaparan dan bencana. |
| Catatan tambahan :
Melalui jawaban-jawaban yang diberikan Hasan Al-Banna terkait sikap terhadap paham-paham seperti nasionalisme, arabisme maupun internasionalisme, kita dapat belajar mengenai aspek metodologis dalam menentukan sikap terhadap sebuah paham. Metode Hasan Al-Banna menegaskan terlebih dahulu makna-makna yang dimaksud dari isu-isu yang ada. Menegaskan penolakan terhadap sesuatu sebelum memahami makna yang dimaksud merupakan sikap terburu-buru. Dengan pemahaman terhadap makna yang dimaksud kita dapat memahami mana substansi yang perlu ditolak, mana yang memang merupakan concern kita karena memang bagian dari kebutuhan kemanusiaan atau perjuangan dakwah kita, atau penegasan penolakan total karena makna yang memang tidak ada interpretasi lain yang mengharuskannya untuk ditolak (karena menerima salah satu bagiannya merupakan kontradiksi terhadap bangunan keyakinan dan pemikiran kita). |
Sasaran Dakwah, Peta Jalan Kebangkitan
Setelah menjelaskan karakteristik dakwah IM dan menggariskan lingkaran tujuan dakwah Al-Ikhwan Al-Muslimun, Hasan Al-Banna menjelaskan peta jalan bagi proses kebangkitan umat melalui pembabarannya mengenai sasaran dakwah IM. Berdasarkan inspirasi dari ayat Al-Qur’an dan analisisnya terhadap sirah dakwah Rasulullah SAW, Hasan Al-Banna menyimpulkan proses kebangkitan memiliki dua tahapan penting (1) kesadaran spiritual (yaqzhah ruhiyah) dan (2) kebangkitan amal (nahdhatul ‘amal).
- Kesadaran spiritual (jiwa)
Sebuah gerakan dakwah tidak semata dilihat dari sisi lahiriah dan formal. Gerakan dakwah memiliki motivasi dan inspirasi spiritual bagi usaha meraih tujuan mereka. Kebangunan spiritual itu merupakan dinamika batin yang menggerakkan, mengontrol dan memberi kekuatan untuk mewujudkan cita-cita.
Oleh karenanya hal mendasar yang harus diperhatikan dalam kerja dakwah adalah kesadaran spiritual ini, yaitu kebangunan ruh, hidupnya hati dan ketajaman intuisi. Dakwah ini menekankan pembinaan ruhani di atas operasionalisasi. Visi dakwah IM dengan demikian menginginkan terbangunnya jiwa-jiwa yang hidup, kuat dan dinamis; hati yang segar dan menggelora; emosi-jiwa penuh optimisme (semangat); serta spirit yang obsesif terhadap cita-cita.
Bagaimana langkah memunculkan kesadaran, kebangunan ruhaniah ini ? Berdasarkan analisisnya terhadap perjalanan (sirah) dakwah Rasulullah dalam menyalakan jiwa para sahabat, Hasan Al-Banna menyimpulkan adanya tiga hal, (1) tertanamnya keimanan, keyakinan tanpa ragu pada kebenaran risalah, dan yang selainnya adalah batil, (2) tertanamnya kebanggan mereka berada dalam kebenaran dan menjadi pembelanya; harga diri mereka naik ke tingkat layak menjadi penunjuk jalan, guru kehidupan bagi orang lain, (3) optimisme terhadap pertolongan Allah dalam menetapi kebenaran dan perjuangan menegakkannya. Iman, kebanggaan dan optimisme.
- Kebangkitan amal (Islami).
Kesadaran dan kebangunan spiritual (jiwa) selanjutnya perlu difokuskan dan diarahkan melalui penetapan sasaran dan cita-cita, sehingga semangat, emosi dan persaan tidak hilang percuma (dan dapat diubah menjadi hasil nyata). Selanjutnya kebangunan jiwa itu perlu diarahkan pada aktivitas (amal) nyata yang memberikan pengaruh secara konkrit pada diri-pribadinya, keluarga dan umat.
-
- Aktivitas perbaikan pribadi (islahul fardi), ke arah kepribadian yang diinginkan Islam. Pribadi yang yang memiliki ; hati-nurani yang peka yang mampu mengenali keindahan dan kejelekan; persepsi yang sahih yang mampu membedakan yang benar dan yang salah; kemauan yang kuat yang tidak lesu dan lemah dalam membela kebenaran; dan tubuh yang sehat dalam melaksanakan kewajiban dan sarana realisasi kebenaran dan kebaikan. Islam telah memberikan kewajiban taklif, yang menyasar aspek-aspek di atas, melalui perintah ibadah, perintah berpikir, arahan akhlak dan beragam tata-aturan syari’ah.
- Akvitas perbaikan keluarga (usrah), ke arah keluarga yang diinginkan Islam, yang suami-istri memahami hak dan kewajibannya.
- Aktivitas perbaikan umat ke arah yang diinginkan Islam dalam hubungan sosial, hubungan kenegaraan maupun hubungan internasional.
Tantangan utama dakwah adalah tantangan fikrah, pemikiran-ideologi. Fikrah juga yang sebenarnya menjadi inti dari dakwah (lubb ad-dakwah). Dalam perspektif sejarah, fikrah (pemikiran) dominan pada masyarakat di negeri-negeri Islam tentu saja adalah fikrah Islam. Bermula dari kolonialisme hingga saat ini, muncul dan menggejala serbuan pemikiran Barat. Dalam konteks zaman (baru) ini, pemikiran barat telah mendominasi dunia. Pemikiran yang mengatur kehidupan masyarakat Islam adalah pemikiran imitatif (taklid) terhadap pemikiran Barat, pemikiran yang kehilangan independensi dan karakter kritisnya.
Efek yang ditimbulkan oleh penetrasi pemikiran Barat ke dalam masyarakat Islam (dalam konteks risalah ini adalah masyarakat Mesir) terjadi dualisme kehidupan yang paradoksal. Dualisme ini dijumpai dalam bidang pendidikan (segregasi pendidikan agama dan umum), bidang peradilan (pemisahan peradilan sipil dan agama), bahkan dalam keluarga. Hasan Al-Banna menilai, dualisme inilah yang menjadi sumber permasalahan utama masalah peradaban dan kebudayaan masyarakat Islam saat ini. Menghadapi infiltrasi dan serbuan pemikiran ini, serta menyelesaikan dualisme kehidupan (tarik menarik arah hidup yang saling kontradiksi), menjadi fokus utama bagi dakwah IM. Meratakan pengaruh fikrah Islam pada masyarakat merupakan syarat perlu bagi kerja kebangkitan setelahnya, kesadaran spiritual dan kebangkitan aktivitas islami.
Sarana Dakwah
Upaya mencapai sasaran-sasaran di atas memerlukan beragam sarana. Sarana umum bagi dakwah ini adalah jam’iyyah, organisasi. Melalui organisasi ini pelayanan kepada masyarakat dilakukan melalui aktivitas-aktivitas terkait pendidikan, ekonomi, sosial dan medan-medan pelayanan lainnya, tentu dengan modal material yang diperlukan.
Tetapi aktivitas, kegiatan dakwah Al-Ikhwanul Al-Muslimun, bukan hanya itu. Seperti disampaikan di atas, inti dakwah adalah fikrah dan akidah yang ditanamkan di dalam jiwa manusia, sehingga menjadi opini umum masyarakat, diyakini dalam hati manusia dan jiwa-jiwa bersatu di bawah naungannya. Sarana penanaman fikrah, bukanlah sarana material, harta-benda, juga bukan kekerasan atau paksaan fisik. Dakwah yang benar akan berbicara kepada ruh, meyeru kepada hati dan membuka tabir penutup jiwa. Hasan Al-Banna menyimpulkan sarana non-material itu dalam empat kata; iman, amal, cinta (mahabbah) dan ukhuwah.
Dari sejarah dakwah Rasulullah, Hasan Al-Banna menyimpulkan, Rasulullah menanamkan nilai-nilai dakwahnya pada jiwa para sahabat pertama-tama adalah seruan kepada iman dan amal, kemudian menghimpun hati mereka dalam naungan mahabbah dan ukhuwah. Sehingga kekuatan akidah berhimpun dengan kekuatan wihdah (kesatuan). Pada akhirnya mereka (para sahabat) menjelma sebagai jamaah percontohan.
Catatan Pustaka
Pidato dan Surat-Surat Hasan Al-Banna, ed. Muhammad Hilmy Al-Manyawi (penerj. Bahrun Abubakar et.al). Cetakan pertama. Penerbit Risalah, Bandung. 1984.
Konsep Pembaharuan Masyarakat Islam, Hasan Al-Banna (penerj. Su’adi Sa’ad). Media Dakwah, Jakarta. 1986.
Da’wah Kami Kemarin dan Hari Ini, Al-Imam Assyahid Hasan Al-Banna (penerj. Rahmat Abdullah), cetakan II, Penerbit Firdaus, Jakarta. 1991.
Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin Jilid 1 (penerj. Anis Matta et.al). Cetakan kedua. Intermedia, Solo. 1998.
Risalah Pergerakan, Majmu’atu Rasi’il Hasan Al-Banna Jilid 2, edisi dua bahasa. Cetakan kedelapan. Era Adicitra Intermedia, Solo. 2021
Our Message In A New Phase, https://thequranblog.wordpress.com/wp-content/uploads/2008/06/_5_-our-message-in-a-new-phase.pdf
